
Sesuai kesepakatan kami berdua, Saya dan Ipeh akan bangun pagi (sekitar pkl. 06:00 wib) untuk kemudian bersiap-siap blusukan dan sarapan ke Pasar Ngasem yang terletak di Jl. Polowijan, kawasan Taman Sari, Yogyakarta.
Hari itu adalah hari kedua kami berada di Yogyakarta setelah semalam sebelumnya menggapai stasiun Tugu di sore menjelang maghrib. Rasa lapar pagi itu sesungguhnya benar-benar mengganggu kenyamanan lambung saya. Pengennya sih gak perlu jauh-jauh keluar hotel buat sarapan, tapi saat Ipeh begitu provokatif mengajak blusukan di Pasar Ngasem sembari nyobain beragam kuliner di sana, saya langsung semangat.
Keinginan ini pun semakin menjadi-jadi saat saya mengeksplorasi berbagai akun media sosial yang menampilkan kondisi dan info terakhir tentang Pasar Ngasem. Dari sebuah tautan saya menemukan berbagai foto dan video antusiasme publik yang menikmati waktu blusukan sekaligus sarapan di pasar legendaris ini. Mereka menghadirkan banyak jajanan tradisional dan jajan pasar yang dulu menghiasi masa kecil saya. Kemudian ada berbagai lauk dari berbagai bahan dasar seperti ayam, ikan, telur, dan daging sapi. Lalu ada sayur dan asupan-asupan lain yang cukup berat jika diperhitungkan sebagai menu untuk sarapan.
Semalam sebelumnya, saking terbuai pada gempuran media sosial dan membayar rasa penasaran yang tak terbendung, saya menyusur banyak tulisan yang menceritakan tentang sejarah Pasar Ngasem hingga larut malam.
Baca Juga : Mengagumi Sentuhan Boutique Concept di Indies Heritage Hotel Prawirotaman Yogyakarta


Suasana Meriah di Pasar Ngasem
Pagi itu, dari hotel Indies Heritage yang berada di kawasan Prawirotaman, saya dan Ipeh memutuskan untuk naik Gocar agar bisa meminimalisir panasnya udara. Sebenarnya bisa sih naik becak karena jarak antara kawasan Prawirotaman dan Pasar Ngasem itu sesungguhnya gak jauh-jauh amat. Tapi keringat yang terus mengucur deras dan menjajah wajah serta tubuh bagian belakang, membuat saya lebih memilih naik mobil saja.
Jangan sampe ya, gegara kemringet kenyamanan diri untuk blusukan jadi drop. Secara ya saya itu kalau sudah keringetan, setubuh-tubuh bisa penuh dengan titik air yang membasahi pakaian dalam. Gak nyaman banget. Kalau sudah begitu pilihannya adalah kembali ke hotel, mandi, berganti semua pakaian, baru keluyuran lagi.
Saya mendadak teringat dengan bagaimana kaum marjinal dan pedagang kecil yang harus berjuang hidup dengan menjajakan bahan kebutuhan pokok sembari menantang suhu udara di luaran. Terkadang panas kejengkang, kadang pula hujan (deras) tiada henti. Sungguh mereka lah pejuang nafkah yang patut dapat pujian. Ah, jadi malu sama diri sendiri, yang sering manja karena kesulitan kecil saja.
Sesuai dugaan, selangkah turun dari mobil, kejamnya sinar matahari langsung menyerbu wajah. Jalanan di depan pasar pun terlihat penuh oleh berbagai moda transportasi dan manusia yang hilir mudik. Becak, motor, dan sepeda ontel yang lalu lalang tampak turut bersumbangsih pada kesibukan yang tercipta sepagian itu.
Denyut nadi kehidupan dan perdagangan pun terlihat ligat bergerak. Saya melihat seorang bapak bersepeda ontel membawa puluhan produk berbahan dasar anyaman rotan seperti tampah, wadah nasi, dan lain-lain dalam berbagai ukuran. Para pedagang kecil pun terlihat memenuhi sederetan ruko yang berada di seberang pasar. Ada yang berjualan di emperan beratapkan payung besar tapi banyak juga yang membuka kios. Yang ditawarkan pun bermacam-macam. Mulai dari makanan kecil, aneka minuman, dan makanan berat seperti soto, nasi baceman lengkap dengan lauk-pauknya, kebutuhan dapur dan rumah tangga, lalu ada kedai penjual burung (unggas) lengkap dengan pakannya.
Pemandangan segala ada yang sering kita lihat saat berada di pasar.
Saya sempat terpaku sementara waktu saat berada di tepi jalan ini. Usai mengamati, saya dan Ipeh kemudian masuk ke dalam pasar dan bergabung dengan banyak pengunjung yang berjuang mencari sarapan. Berdesakan di tengah banyaknya antrian yang mengular di sana-sini.
Ramai tak terkira. Hawa dan “wangi” khas pasar pun langsung merangsek tanpa permisi ke indera penciuman. Dalam beberapa langkah saya berhenti, memutuskan untuk mengamati terlebih dahulu, berjalan berkeliling, baru memutuskan sajian apa yang akan dicoba.
Saya memperhatikan bahwa Pasar Ngasem ini adalah area penjualan setengah terbuka dan tidak berada di dalam sebuah gedung khusus. Satu puncuk rumah semen beratap, melindungi beberapa pedagang. Sementara jalan di antara rumah setengah terbuka itu ada jalan setapak untuk kita berpindah dari satu kios ke kios lainnya.
Peletakannya juga ngacak tidak dialokasikan pada kelompok atau jenis dagangan tertentu. Tapi yang pasti, layaknya sebuah pasar tradisional, segala kebutuhan primer rumah tangga dan dapur lengkap terhidang di sini.
Tawaran sarapannya pun berlimpah ruah. Mau sekedar nyari kue atau jajan pasar yang otentik Jawa atau berbagai asupan berat yang melibatkan nasi atau lontong. Kondisi riuh rendah ini sungguh bikin saya mumet. Sungguhan. Saya jadi bingung mau makan apa. Semua menarik dan pengen dicoba.
Nawaitu awalnya sih pengen makan berat. Asupan berkuah seperti soto contohnya. Tapi karena susah mendapatkan tempat duduk, niatnya berubah dengan hanya jajan kue aja. Itu pun butuh perjuangan. Karena beberapa incaran saya dan Ipeh, antriannya persis seperti antri sembako atau beli tiket kereta saat mudik lebaran.
Pilihan kami akhirnya jatuh pada apem, carabikang, dan wingko beras. Rangkaian pilihan yang sungguh susah saya temukan di Cikarang. Meskipun misalnya apem dan carabikang ada di toko kue di kompleks sebelah, visualnya sangat berbeda dengan apa yang pernah saya cicipi dan saya lihat sebelumnya. Apem dan carabikang di Pasar Ngasem ini tuh dibuat berwarna-warni. Itu pun dengan warna yang mencolok dan menarik mata. Menggoda banget.
Yang bikin selera saya mendadak bangkit tuh justru si wingko beras yang dipanggang atau digoreng itu. Saya hanya sempat mencoba satu karena rasa manis yang timbul lebih menguasai sensasi gurih dan asin yang tercipta. Dan karena antriannya juga mengular sementara masaknya lama, dzolim rasanya kalau mborong sampe berbelas-belas buah. Kesianlah nanti orang lain gak kebagian.
Memahami bahwa saya mulai mumet dengan kepadatan di dalam pasar, Ipeh akhirnya nyempil-nyempil ke beberapa penjual kue supaya dapat 1-2 potong kue saja. Dan itu sukses dia laksanakan. Aaahh canggih kali lah si Ipeh ini ya.
Kami pun akhirnya membatalkan makan soto dan mencoba minuman tradisional di dalam pasar karena sudah tak kuat dengan himpitan manusia. Cukuplah dengan beberapa foto yang setidaknya menjadi bukti dan jejak cerita bahwa saya pernah blusukan di Pasar Ngasem ini.
Menuntaskan dendam karena masih kelaparan di pagi itu, kami berdua akhirnya memutuskan untuk sarapan di sebuah kedai soto yang berada persis di seberang jalan Pasar Ngasem. Soto daging sapi dan ayam dengan kuah yang masih panas, gorengan, beberapa tusuk sate, dan ditutup dengan 2 gelas teh tawar hangat, berhasil mengalir dengan sukses ke lambung kami masing-masing.
What a great breakfast. Sempurna.


Dulu, Sekarang, dan Nanti
Dari beberapa tautan yang membahas tentang Pasar Ngasem, saya mencatat bahwa tempat ini dulunya adalah pasar unggas/pasar burung. Keberadaannya sendiri sesungguhnya adalah bagian dari Taman Sari yang saya kunjungi bersama si bungsu satu bulan sebelumnya. Jadi sesungguhnya jika kita kembali ke cerita lama, keberadaan Pasar Ngasem punya sejarah yang panjang. Setidaknya sudah ratusan tahun seiring dengan berdirinya Taman Sari dan sekitarnya.
Baca Juga : Menyusur Keindahan Taman Sari Yogyakarta
Lewat sebuah catatan saya juga menandai bahwa dulu sekali pasar ini didominasi oleh para penjual unggas dan burung. Tapi seiring dengan beberapa perubahan, fungsinya kembali kepada konsep pasar pada umumnya yaitu menjual kebutuhan pokok masyarakat. Ketika kemudian didominasi oleh penjaja kuliner, nyatanya perubahan ini membawa kepada sebuah destinasi wisata yang jadi incaran para pelancong.
Menghadirkan sajian tradisional mengingatkan kita bahwa Pasar Ngasem mempunyai peran penting dalam pelestarian budaya. Karena sejatinya kuliner adalah bagian dari pencatatan dan jejak sejarah yang tak boleh kita abaikan. Meski saat ini publik dijejali oleh banyak pilihan asupan dari negara lain ataupun yang lahir dari sebuah akulturasi budaya, nyatanya produk kuliner otentik daerah dan nusantara masih mendapatkan tempat terbaik di hati publik lokal.
Untuk saya yang hidup di masa saat jajan pasar adalah satu-satunya asupan penggembira disamping makanan pokok, kehadiran makanan/masakan tradisional di Pasar Ngasem ini mengingatkan akan masa kecil 50an tahun yang lalu. Saat itu ketersediaan asupan selain dari dapur rumah sendiri, hanya ada beberapa toko kue yang bergerak di dunia bisnis kuliner. Meski sudah mengenal beberapa jenama yang mulai menghadirkan pilihan jajanan yang berbeda, nyatanya anak-anak di zaman saya dikelilingi oleh asupan homemade dengan ingredients yang minim gula buatan. Opsi yang jauh lebih sehat ketimbang gula buatan yang ada di masa sekarang.
Saya berharap meskipun masa berganti, selera publik akan asupan pun bergerak maju dan mungkin saja sudah berubah, kecintaan kita akan makanan tradisional asli nusantara tetap lestari. Jangan lupakan mie kocok saat ramen banyak ditawarkan. Tetap suka dengan lemper meski sushi dan onigiri ala Jepang juga lezat. Selalu mau berbelanja kue pancong, kue lumpur, onde-onde, apem, klepon, putu, nagasari, dan lain-lain meski juga asyik mencoba jajanan dari negeri seberang. Selalu bersemangat belanja aneka makanan yang dijajakan oleh pedagang kecil walaupun tetap sekali-sekali mampir ke sebuah bakery atau food outlet yang hadir dengan visual tempat yang outstanding.
Siapa yang bisa dan mampu melakukan semua ini? Ya kita sendiri.
Jangan pernah lupakan akar dan warisan budaya kita meski kita dikelilingi oleh perubahan serta tuntutan zaman dari waktu ke waktu.

Baca Juga : Belanja di Satu Tempat Serba Ada di Yogyakarta? Hamzah Batik Malioboro Solusinya



Baca Juga : Keseruan Berwisata Swafoto di Svargabumi Magelang Yogyakarta

Wow yang antri wingko n bakpia luar biasa juga. Berarti emang enak tuh
Betul banget. Kalo gak mikir antrian yang mengular, mungkin dah beli banyak.
kue apem-nya keliatan menggugah selera ya, jadi pengen coba juga :D
Enak banget memang. Apalagi dinikmati bareng kopi hitam tanpa gula supaya manis dan gurihnya didapat dari apem.
kok kepanasan sih Mbak?
Bukannya rumah Mbak Annie di Bekasi juga panas banget?
Kalo saya emang gak betah banget dengan udara panasnya Yogya, maklum lahir di Sukabumi yang dingin dan sampai setua ini di Bandung
Eniwei blusukan ke pasar-pasar emang menarik banget, karena kayanya pasar merupakan pusat kebudayaan suatu daerah ya?
Jadi pasar Ngasem, pasar Beringharjo, pasar Pathuk dst, masing2 punya kisahnya sendiri
Seperti sinar matahari buka cabang lebih banyak sepagian itu di Yogyakarta hahaha. Saya dan Ipeh mandi keringat sejak meninggalkan hotel. Lepek betul seluruh tubuh. Kebayang kalau yang biasa hidup di udara sejuk atau dingin seperti Mbak Maria.
Blusukan ke pasar tradisional memang asyik. Saya suka melihat roda kehidupan di pasar. Meski jujur gak kuat dengan bau dan hawanya.
Dulu saya pernah ke sini mbak, tapi dulu itu syepi dweh. Ga serame ini. Jadi seneng kalo Pasar Ngasem makin hidup.
Iya Mas. Semenjak penjual apem itu viral di media sosial dan juga penjual jajan pasar tradisional lainnya, Pasar Ngasem jadi diburu para wisatawan.