
Pergi bersama bestie tuh banyak cerita serunya. Termasuk saat kami, saya dan Ipeh, sepakat untuk menginap semalam di Indies Heritage Hotel yang berada di kawasan Prawirotaman Yogyakarta. Lokasi yang ingin banget saya eksplorasi. Yuk lah baca pengalaman saya semalam menginap di sini ya.
HOME AWAY FROM HOME.
Rangkaian jargon di atas saya baca saat membuka tautan resmi Indies Heritage Hotel Prawirotaman Yogyakarta ini. Satu kalimat yang menjamin kenyamanan dan ketentraman bagi kita agar tetap berasa di rumah meski berada jauh dari tempat tinggal kita. Situasi ini tentunya sangat berpengaruh bagi para regular traveler. Mereka yang sering bepergian ke banyak tempat karena alasan pekerjaan atau memiliki kepentingan tertentu.
Meaningful pastinya.
Meski tidak berada di jalanan utama dan harus masuk ke salah satu jalan kecil diantara semua pemecah jalan dari kawasan Prawirotaman, kami tidak mengalami kesulitan apa pun untuk mencapai Indies Heritage Hotel. Bangunannya yang menjulang dengan fasad yang eye-catchy dari kejauhan, saya seketika merasakan kekaguman seperti saat melihat foto-fotonya di banyak tautan dan media sosial.
“Nah itu dia. Sampe deh kita. Penampakannya gue inget banget. Persis seperti foto yang pernah gue lihat,” ujar Ipeh sembari mengintip lewat jendela kaca mobil yang kami naiki dari Stasiun Tugu Yogyakarta.
Saat bawaan kami diturunkan, saya menyempatkan diri membuang pandangan ke segala arah. Keberadaan hotel ini sangat mencolok karena selain beberapa penginapan lain, ada banyak rumah penduduk yang ukurannya lumayan luas. Saya mendadak membayangkan. Dengan semakin populernya kawasan Prawirotaman, bukan gak mungkin di masa mendatang rumah-rumah itu akan berganti wajah.

Kisah Kedatangan yang Sarat Cerita
Selain fasad yang menampilkan puluhan jendela dan kamar dengan teras kecil di depannya, ada sederetan parkir mobil yang cukup luas di sisi depan. Saat di satu waktu akan pergi keluar, saya bahkan sempat melihat sebuah mini bus 25 seats yang berisikan rombongan bule asal Belanda. Sembari menunggu koper-koper besar diturunkan dari bis, mereka berdiri santai di selasar depan hotel. Beberapa orang perempuan dengan ramah mengajak saya ngobrol dan menceritakan puluhan jam yang harus mereka lalui untuk mencapai Yogyakarta. Dari Amsterdam mereka transit di Singapore dan Jakarta baru setelah itu menaiki connecting flight ke Yogyakarta.
Hati saya mendadak ngilu. Pernah terbang dengan rentang waktu 16 jam aja sudah bikin saya mabok dan bosan tak terkira. Apalagi ini. Puluhan jam yak.
Salah seorang diantara mereka sempat pengen ngobrol terus. Apalagi saat saya bercerita tentang kunjungan saya ke Amsterdam saat masih berusia sebelas-an tahun. Dia tak lelah menanggapi banyak pertanyaan saya tentang beberapa tempat yang pernah saya kunjungi dahulu. Dia bahkan sempat tercekat saat menyadari bahwa saat saya menginjakkan kaki di Amsterdam dia belum lahir.
Kami tertawa ngakak bersamaan bagai tak ada hari esok. Entah apa yang kemudian dia sampaikan kepada temannya. Tapi yang pasti temannya itu ikut tertawa. Dia, si Michelle ini, kemudian lama tak beranjak dari sisi saya dengan keingintahuan yang luas banget.
Seperti yang saya duga, dia akhirnya banyak bertanya tentang beberapa destinasi wisata yang populer di Indonesia. Termasuk, tentu saja, Bali, yang sering dia lihat foto-fotonya dan begitu gencar dipromosikan oleh banyak travel agent di Belanda.
“Have you been to Bali?” Michelle bertanya dengan nada penasaran.
Saya terlonjak kaget dan langsung terbatuk-batuk. “Natuurlijk.” Jawab saya nyaris menjerit. “Bali is actually my second home. I love to be there and be part of this outstanding land. I even have huge dream to spend the rest of my life there.” Jawab saya bersemangat.
Michelle membelalak. Tak percaya bahwa bahkan seorang Indonesiapun punya mimpi untuk tinggal di Bali. Dia pun langsung memutuskan akan kembali ke Indonesia dan terbang ke Bali tahun depan. Saya pun mengingatkan agar dia menghabiskan waktu setidaknya 2 minggu untuk menjelajah Bali sepuas mungkin.
Sebuah pertanyaan lucu dan sering saya dengar kemudian mampir ke telinga saya.
“How far is Bali from Indonesia?” Tanya Michelle dengan ekspresi polos. Rasa penasaran perempuan 22 tahun ini sangat terlihat.
Karena sering mengalami hal ini, saya cukup tersenyum saja. Maka mengalirlah penjelasan panjang kali lebar tentang apa dan di mana itu Bali. Penjelasan ini kemudian membuat Michelle mengangguk-angguk dan berulang kali meminta maaf karena kesalahpahamannya. Saya tersenyum lebar. Tak lama kami pun bubar karena Ipeh sudah mengajak saya naik mobil sewaan yang akan membawa kami ke Pasar Ngasem untuk sarapan. Michelle pun ingin istirahat setelah perjalanan yang (sangat) melelahkan.
Tentang Yogyakarta : Indahnya Gaya Lawasan Klasik di Java Villas Boutique Hotel & Resto Prawirotaman Yogyakarta

Mengulik Visual Indies Heritage Hotel
Saat sepakat untuk ngelencer bareng, saya sudah menyerahkan urusan pencarian akomodasi kepada Ipeh karena volume kedatangan dia ke Yogyakarta sudah lebih banyak dibandingkan saya. Meskipun sempat membantu mencari dan mereferensikan beberapa, Ipeh akhirnya mengkonfirmasi Indies Heritage Hotel untuk malam perdana kami di Yogyakarta.
Kami tidak memesan sarapan karena memang berniat menyusur Pasar Ngasem di pagi keesokan harinya. Ini juga dalam rangka membayar rasa penasaran melihat banyak sekali video dan foto-foto publik yang bersantap di pasar ini. Banyak diantaranya menampilkan beberapa penjual dengan masakan dan makanan tradisional Jawa yang sungguh menggoda iman.
Pengalaman di Pasar Ngasem akan saya ceritakan terpisah ya. Kita lanjut cerita tentang Indies Heritage Hotel
Kemarin sore, saat sampai di Indies Heritage Hotel, kami tidak mengalami kesulitan apa pun saat check in. Prosesnya cepat dan sangat memudahkan. Lobby hotel yang berbentuk persegi panjang terlihat sepi oleh furniture dan dekorasi. Yang saya lihat adalah ceiling yang menjulang, beberapa sofa untuk menunggu, sebuah meja bilyard di salah satu sudut ruangan, dan tentu saja counter receptionist yang terlihat begitu sederhana. Satu pemandangan yang membuat saya cukup terkejut. Jarang-jarang bisa melihat meja bilyard di sebuah ruang utama penerimaan tamu di sebuah hotel.
Menunggu Ipeh yang mengurusi administrasi, saya juga cukup takjub dengan kehadiran sebuah lemari kayu besar tinggi yang ditaruh di tengah ruangan. Kehadiran lemari ini langsung menyambut tamu saat membuka pintu depan. Keberadaannya menutupi lift yang ada di belakangnya serta pintu masuk kolam renang. Tak ada yang istimewa dari lemari kayu ini. Di dalamnya juga tidak banyak isinya.
Beberapa hal yang saya sukai dari ground floor ini adalah sentuhan warnanya serta beberapa kaca berlukis yang dipasang di atas pintu dan dinding yang menghadap ke arah luar. Perhatian saya pun kemudian terpatri pada warna dan motif keramik lantai yang tersusun memanjang. Cakep betul. Pengen banget deh menggunakan keramik yang sama untuk di ruang tamu rumah atau setidaknya di kamar saya. Kesannya yang adem dan membumi membuat saya langsung jatuh cinta.
Tentang Yogyakarta : Saat Estetika dan Kenyamanan Menyatu di Yats Colony Yogyakarta


Yok sekarang masuk ke dalam kamar tipe Deluxe Balcony yang sudah Ipeh pesan.
Satu kata yang muncul di kesan pertama saya adalah “Convenient” Dengan ukuran 23m2, penataan kamar ini sungguh pintar. Barangnya banyak tapi tetap terasa lega. Ada twin bed dengan bed head yang menjulang, 3 buah bantal untuk setiap kasur, lemari dengan kotak untuk kulkas mini dan aneka complimentary, meja kerja kayu, TV, kursi dan sofa kecil yang empuknya pas untuk bokong saya yang tepos.
Komposisi warna yang digunakan pun senada seirama. Kondisi yang sangat menghibur mata dan membuat kamar kecil ini terlihat lega.
Efek lowong ini jadi begitu sempurna saat saya menggeser gorden dan vitrase, lalu membuka pintu kayu dengan 2 bukaan. Saya menemukan sebuah balcony yang sangat menyenangkan. Gak besar tapi cukup untuk menampung beberapa orang berdiri bersamaan sambil memandang konsep boutique heritage hotel dari sisi fasad dalam.
Berdiri di sini juga membuat saya bisa melihat kolam renang yang tadi sempat saya intip saat tegak di depan lift. Ada beberapa pencahayaan dan lampu sorot yang ada di beberapa titik kolam. Tapi saya memutuskan untuk memotret salah satu sisi terindah Indies Heritage Hotel ini di pagi hari saja agar keindahannya bisa terekam maksimal.
Berdiri di balcony ini saya merasakan nuansa refreshing dan rangkaian iconic spot yang dimiliki oleh Indies Heritage Hotel. Apalagi jika langit sedang membiru, udara tidak terlalu panas, dan duduk bersama teman sembari ngopi, serta ngobrol berlama-lama. Duduk melantai aja rasanya sudah ok. Makin bikin betah jika sembari menikmati angin semilir dan ketenangan yang hakiki.
Pokoknya jika kalian memutuskan untuk menginap di sini kayaknya wajib deh milih kamar deluxe dengan balcony.
Tentang Yogyakarta : Mengenal Tas Rajut Berkualitas di DOWA Honje Mangkubumi Yogyakarta

Kesan Pribadi
Dari semua hal yang “disajikan” oleh Indies Heritage Hotel, kamar yang saya tempati adalah satu yang paling saya sukai. Plus keramik lantai ground floor yang begitu meninggalkan kesan pada diri pribadi.
Mengusung konsep boutique yang merujuk pada sebuah hotel kecil, bergaya modis dan menunjukkan orisinalitas serta keunikan plus bukan berasal dari sebuah jaringan hotel besar, Indies Heritage Hotel sudah memegang ketetapan itu. Makna heritage nya sendiri belum terlalu melengkapi karena biasanya ide heritage mewajibkan satu tempat untuk menghadirkan efek dan atau ornamen yang mengajak kita untuk mengingat kembali keindahan ornamen lampau. Dekorasi penuh sejarah yang membangkitkan nuansa, suasana, dan kenangan di zaman belasan atau puluhan tahun lalu.
Saya cukup menyesali keputusan untuk tidak sarapan di sini. Karena terus terang, sarapan adalah sisi terpenting dari semua rangkaian pengalaman staycation. Rasa yang menyentuh lidah dan presentasi food and beverage nyatanya sering kali menggiring para tamu untuk kembali. Atau setidaknya melahirkan rasa kangen yang memorable.
Dan ah saya melewatkan ini.
Saat melangkah keluar lalu menyusur kawasan Prawirotaman untuk mencari hotel berikutnya, saya sempat membatin. Pengen kembali ke tipe kamar yang sama bersama suami dan wajib makan pagi di sini.



Hotelnya bagus sekali mba Annie…dan obrolan sama bule Belanda itu juga seneng banget mereka yaaa, serasa sudah kenal lama.
Saya kalau ke hotel memang selalu dibuat penasaran sama sajian sarapan pagi. Suka bertanya tanya sendiri, ada apa aja yaa menunya…
Next kalau ke Yogyakarta lagi saya masukkin deh hotel ini ke list pilihan hotel untuk menginap. Makasih Mba Annie artikel referensi hotelnya…❤️🙏
Ngobrol dengan orang asing yang antusias dengan wisata kita tuh selalu menyenangkan buat saya. Seringnya saya bertanya kebalikannya. Siapa tahu kan suatu saat kita bisa sampai di negara mereka. Promosi mouth to mouth bagi saya jauh lebih ampuh ketimbang hanya membaca review di media sosial.
Cus cobain Mbak Heni. Pilih kamar dengan balcony dan view menghadap kolam renang.
Kalo balkonnya aja senyaan itu, jadi bikin betah buat sejenak healing atau menikmati pemandangan luar. Siapa tahu dapat pangsit eh wangsit buat melahirkan ide kreatif ya Bu hehe.
Saran Bu Annie ke Michelle bener juga, kalo eksplore suatu tempat/daerah jangan 2-3 hari ya, minimal 2 atau 3 mingguan lebih berasa ya
Sayangnya di balcony tidak disediakan bangku dan meja kecil. Jadi gak bisa buat duduk2 sembari mencari ilham hahahaha. Padahal bisa jadi dengan balcony dan pemandangan seperti itu, kita bisa melewati waktu dengan kegiatan berkualitas ya Fen.
Sepakat, Mbak. Aku tidak sering menginap di hotel sih. Paling pas masih kerja. Kalau lagi dinas di luar kota, dikasih akomodasi buat menginap di hotel. Dan part sarapan ini memang bikin kita pingin balik lagi atau tidak ke hotel tersebut.
Seneng ya saat dinas keluar kota. Asal tidak keseringan hahahaha. Saya dulu kerja dengan ritme kegiatan seperti itu. Traveling hampir tiap bulan ke berbagai negara. Tapi saat mulai keseringan, akhirnya bosan juga. Malah jadi males buat berangkat.
Noted kucatat kak nanti kalau nginap disini pilih deluxe kamar dengan balcony. Aih jadi pengen staycation juga. Iya nih sayang ya kalau nggak sarapan di hotel tuh rasa ada yang kurang nggak sih
Iya Mbak. Balkon yang menghadap ke kolam renang ini tuh cakep banget. Kalau malam, saat lampu gedung dan pinggiran kolam dinyalakan, suasananya apik betul.
Lihat twin bed auto inget kasus emak-emak (yang ternyata seorang dosen) yang menggeser bed untuk disatukan dan marah-marah karena kena denda satu juta rupiah :D
Walau dosen ternyata gak mau baca peraturan ya?
Seperti boutique hotel yang pastinya punya peraturan berbeda dengan hotel pada umumnya.
Lihat hotel ini jadi inget hotel di Ponorogo yang dipenuhi perabotan kuno ala heritage ini, bedanya bangunannya bener2 kuno, gak modern seperti di atas
Banyak banget memang orang kita yang sering melanggar peraturan menginap. Yang paling sering adalah JUMLAH ORANG di dalam kamar. Harusnya hanya untuk dua orang, nyatanya lebih dari itu. Padahal pihak hotel tentunya sudah menghitung biaya operasional dari penggunaan listrik dan air.