
Berkesempatan mengunjungi destinasi wisata sejarah di salah satu daerah di nusantara, bagi saya adalah sebuah nikmat yang tak terwakilkan oleh kata-kata. Begitu pun saat saya melangkahkan kaki di Istana Kesultanan Kadriah yang berada di kota Pontianak. Warisan Kerajaan Melayu Islam yang terletak di pinggir sungai Kapuas.
Usai mencicipi Es Krim Angi di tengah kota Pontianak, sesuai rencana Rizky mengajak saya langsung menuju Istana Kesultanan Kadriah Pontianak yang berada di Kampung Beting, Kelurahan Dalam Bugis, Tanjung Hilir, Kecamatan Pontianak Timur, kota Pontianak. Satu lokasi yang tak jauh dari pinggir sungai Kapuas.
Lalu lintas saat itu tidak terlalu sibuk. Saya menikmati perjalanan dengan tenang sembari membuang pandangan pada beberapa deretan ruko yang saya lewati sepanjang perjalanan. Setelah beberapa lampu merah saya bertemu dengan dua jembatan kembar yang terbentang di atas Sungai Kapuas. Jembatan yang melengkung setengah bukit dan menjadi penghubung antara kedua sisi kota Pontianak. Tak lama setelah melewati jembatan itu, mobil belok ke kiri ke sebuah kawasan dengan gerbang besar bertuliskan “Kesultanan Kadriah” di bagian atasnya.
Memasuki jalan yang sudah dicor dengan 2 lajur, saya sudah berada di Kampung Beting, di mana Istana Kesultanan Kadriah berada. Di sepanjang jalan ini saya melihat berbagai kesibukan masyarakat sekitar dan banyak toko serta warung makanan. Saya juga melihat beberapa becak lalu lalang diantara kesibukan kendaraan roda dua dan roda empat yang juga ikut beraktivitas.
Sekitar 2-3 kilometer dari gerbang depan tadi, jalan pun terbelah menjadi 4 sisi. Rizky membelokkan mobil ke kiri di mana tersedia lahan parkir yang cukup menampung sekitar 6-8 mobil saja. Saat Rizky mengingatkan saya untuk tidak meninggalkan barang berharga di mobil, saya langsung paham. Dia kemudian menutupi beberapa kantong belanjaan yang saya bawa dengan kain agar tidak gampang terlihat saat seseorang mengintip lewat jendela.
Saya mengangguk sembari tersenyum sekilas. Terbiasa bepergian kemana-mana, apa yang barusan Rizky lakukan sudah mengingatkan saya akan level keamanan dari tempat yang sedang kunjungi.
Beberapa langkah setelah meninggalkan area parkir ini, saya sempat berdiri di satu titik lalu menebarkan pandangan untuk memetakan apa yang sedang dijamu oleh Kampung Beting.
Di sebelah kiri ada sebuah gerbang semen yang di atasnya ada bangunan kayu dengan atap yang tinggi menjulang. Gerbang ini hadir dengan 2 warna khas akulturasi Melayu dan Islam yaitu kuning dan hijau (kuning khas lambang kesultanan dan hijau yang mewakili kemegahan Islam). Gerbang yang menandakan bahwa kita sudah tiba di kawasan pemukiman keluarga kesultanan dan jalan lebar menuju Istana Kesultanan Kadriah.
Saya mendadak dejavu dengan pemandangan yang sama saat melihat Masjid Raya Sultan Riau yang ada di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau. Masjid ini juga hanya memakai 2 warna, kuning dan hijau, untuk menampilkan kemegahannya.
Tentang Pulau Penyengat : Tersengat Kekaguman di Pulau Penyengat Kepulauan Riau
Di sebelah kanan ada sebuah jalan semen dan jembatan kayu yang terlihat sudah menua tapi tetap kokoh. Dari jauh saya melihat atap sebuah masjid yang akan saya kunjungi kemudian. Untuk mencapai apa yang ada di kanan ini, kita harus melewati sebuah jembatan kayu dengan sebuah aliran sungai kecil di bawahnya. Dari jembatan yang kencang berderap saat dilalui oleh kendaraan ini, saya menikmati jajaran perahu kayu nelayan milik penduduk sekitar dan banyak warung minuman yang menjajakan berbotol-botol air pelepas dahaga.
Di bagian depan area parkir, dari kejauhan saya melihat sebuah pasar yang saat itu sudah tutup. Ada sederetan kios tanpa sekat dengan dinding terbuka dan atap genteng lalu terpal yang menutup dagangan. Di dekatnya ada lahan terbuka yang juga bisa digunakan sebagai tempat parkir.
Tentang Pontianak : Bertamu ke Masjid Raya Mujahidin Pontianak. Rumah Allah yang Indah di Garis Khatulistiwa

Menatap Keindahan Fasad Istana
Rampung menikmati air putih dingin hampir setengah botol, saya melanjutkan eksplorasi dengan berfoto di gerbang Istana Kesultanan lalu menyusur jalan semen yang menghubungkan kawasan umum dengan lingkungan istana.
Saya melewati beberapa rumah lama yang kabarnya ditempati oleh keluarga Sultan. Rumah-rumah tampak mulai menua dimakan waktu. Bahkan ada satu dua yang terlihat tak terurus karena tidak ada penghuninya. Padahal saat saya lamati dalam di perjalanan pulang, rumah yang kosong itu memiliki lahan yang tak kurang dari 250m2.
Hanya dalam beberapa menit kemudian, fasad Istana Kesultanan Kadriah terlihat dari kejauhan.
Dimulai dari sebuah tanah lapang yang sudah disemen, saya melihat sebuah istana yang terbuat dari kayu Belian dengan rancang bangun berwarna kuning eksentrik yang mencolok. Bangunan klasik sentuhan Melayu ini hadir dengan cat kuning yang mulai memudar dan terlihat terkelupas di sana-sini. Semua tampak mewakili usia ratusan tahun yang dimilikinya.
Saat saya datang terdengar sekelompok ibu-ibu sedang membaca ayat suci Qur’an di sebuah rumah yang letaknya berdekatan dengan halaman istana. Menggunakan loud speaker saya bisa menikmati alunan tersebut sembari memotret apa yang terhidang di halaman istana.
Di halaman ini saya melihat beberapa meriam besi yang kabarnya adalah buatan Perancis dan Portugis. Meriam yang sekarang didudukkan secara permanen ini kabarnya dulu digunakan oleh pihak kesultanan dalam melawan penjajah. Dalam sebuah catatan dan referensi wisata, meriam milik kesultanan ini sejatinya berjumlah 13 buah. Tapi saat saya mengelilingi halaman depan istana saya hanya menemukan 5 diantaranya.
Tentang Pontianak : Menilik Produksi Tenun Khas Pontianak di Kampung Tenun (KANUN) Khatulistiwa


Saya melangkah ke teras depan setelah melepaskan sepatu dan menaruhnya di tangga yang jumlah pijakannya tidak banyak. Seorang bapak menyapa saya dengan ramah. Beliau menawarkan jasa untuk menjaga sepatu saya dengan biaya tertentu. Saya mengangguk dan bersedekah sejumlah uang yang diminta beliau.
Saat pelan melangkah saya menyadari bahwa teras depan istana ini ternyata luas banget. Ada satu sisi diisi dengan penjualan kain dan tanjak khas Pontianak. Sementara di sisi lainnya tersedia beberapa meja kayu bulat dan tempat duduk untuk kita mengaso atau berbincang-bincang. Saya sempat bertanya ke seorang penjaga meja jika seandainya ada buku tentang Istana Kesultanan Kadriah atau brosur kecil yang menerangkan tentang tempat ini. Tapi ternyata tidak tersedia.
Semoga nantinya disediakan ya supaya pengunjung bisa mendapatkan sumber yang sahih tentang Istana Kesultanan Kadriah. Atau bisa jadi menyediakan informasi secara on-line lewat scan bar code yang terhubung dengan website milik istana atau Dinas Pariwisata atau Dinas Pendidikan setempat. Perkembangan dunia digital tentunya bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk segala hal yang berhubungan dengan pariwisata.
Menyusur Bagian Dalam Istana
Sebuah pintu lebar dan tinggi menyambut langkah saya menuju bagian dalam istana. Kayu pijakan yang dicat gelap yang baru saja saya lewati hingga ke dalam sudah melengkapi keindahan istana ini.
Warna kuning yang diaplikasikan pada semua dinding dengan listing berwarna hijau dan jendela kaca dengan motif buram, mengingatkan saya akan tempat-tempat atau bangunan cagar budaya yang bertebaran di beberapa daerah di tanah air. Khususnya pada banyak tempat yang pada masanya dipimpin oleh seorang Sultan. Gelar yang disematkan pada seorang pemimpin setelah Islam masuk dan “bergabung” sebagai ranah keimanan masyarakat pada masa itu yang masih berpegang teguh pada animisme atau aliran kebatinan dan memeluk Hindu sebagai dasar serta aturan kehidupan. Sebutan Raja kemudian berubah menjadi Sultan untuk menandakan bahwa pemimpin setempat sudah mentasbihkan diri sebagai seorang muslim.
Sekarang, dengan rancang bangun yang saya lihat di Istana Kesultanan Kadriah, mungkin terkesan oldiest. Tapi saya yakin pada saat istana ini didirikan (1771-1778 Masehi), bangunan ini tentunya sangat megah. Apalagi jika melihat visual fasad istana yang baru saja saya nikmati. Tingginya ceiling dan jendela yang menjadi salah satu ciri bangunan di abad itu, yang merujuk pada standard design ala negara Eropa.
Tentang Pontianak : Makan Enak di Warnas Etek Pontianak

Seorang perempuan paruh baya menyapa saya saat melangkah masuk ke dalam ruang tengah istana. Beliau menanyakan kabar dan meminta saya mengisi buku tamu yang ada di sebuah meja kecil.
Ibu ini, saya lupa menanyakan namanya, mengenalkan diri sebagai salah seorang anggota keluarga besar Sultan Syarif Machmud Melvin Alkadrie. Sultan ke-9 dari dinasti Kesultanan Kadriah yang memerintah sejak 2017 hingga kini. Dia diberi tugas untuk melayani para tetamu yang berkenan mendengarkan penjelasannya tentang Istana Kesultanan Kadriah.
Daftar 9 Sultan yang berkuasa di Kesultanan Kadriah Pontianak : Syarif Abdurrahman Alkadrie (1771-1808), Syarif Kasim Alkadrie (1808-1819), Syarif Usman Alkadrie (1819-1855), Syarif Hamid I Alkadrie (1855-1872), Syarif Yusuf Alkadrie (1872-1895), Syarif Muhammad Alkadrie (1895-1944), Syarif Hamid II Alkadrie (1945-1950), Syarif Abubakar Alkadrie (2004-2017), Syarif Mahmud Melvin Alkadrie (2017-sekarang)
Saya mengangguk takzim sebagai rasa hormat dan menyalami beliau sembari kembali mengenalkan diri termasuk mengajak beliau untuk lebih mengenal profesi blogger yang sedang saya dalami. Tampaknya beliau cukup paham karena istri dari sultan yang sekarang dulunya juga adalah seorang content creator.
Saat pulang hal ini saya sampaikan kepada Rizki. Dia mengkonfirmasi kebenaran berita ini. Bahwa istri sultan yang menjabat sekarang dulunya adalah seorang content creator yang usianya masih tergolong muda.
Dari penjelasan sang Ibu saya mendapatkan banyak informasi bermanfaat yang sangat ingin saya bagikan.
Ruang tengah yang sekarang sedang saya masuki adalah satu-satunya ruangan yang boleh diakses oleh publik. Ada beberapa ruang di kanan dan kiri yang adalah kamar Sultan dan keluarga. Ruang bagian belakang diperuntukkan sebagai ruang serbaguna dan beragam fungsi lainnya.
Dari depan tadi saya melihat teras lantai 2 yang bisa diakses dari tangga depan. Tapi ternyata karena usia bangunan yang sudah ratusan tahun, tempat tersebut sudah tidak boleh diakses lagi. Padahal saya tadinya berharap bisa menjelajah ke sana dan membuat video atau memotret lingkungan istana dari sebuah ketinggian.
OK. Sekarang kita bahas si ruang tengah saja.

Di sisi terujung saya melihat singgasana Sultan dan Permaisuri dengan atap yang hampir menyentuh langit-langit ruangan. Masih didominasi warna kuning. singgasana ini dilengkapi oleh 3 tirai yang menjuntai indah dan 3 step tangga kecil yang di masing-masing ujungnya dihiasi oleh sebuah guci kecil. Di belakang sepasang tempat duduk/singgasana ini terpasang foto Sultan Syarif Mahmud Melvin Alkadrie dalam balutan baju kebesaran.
Saya menyusur banyak hal yang ditempel di kedua dinding ruangan.
Di dinding ini terpampang foto-foto lama hitam putih yang menghadirkan banyak informasi tentang keluarga kesultanan dari masa ke masa. Termasuk keterlibatan mereka dalam memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia bersama para tokoh pejuang atau pahlawan negara.
Silsilah keluarga kesultanan pun disampaikan di sini. Tertera nama 9 Sultan yang sudah memerintah sejak 1771 hingga saat ini. Masa di mana istana ini selesai dibangun dan ditempati oleh sultan pertama yaitu Syarif Sayyid Abdurrahman Alkadrie. Saat saya lamati dari pencatatan ini, nama setiap sultan selalu diawali dengan kata SYARIF dan diakhiri dengan marga ALKADRIE atau ALQADRIE.
Selain banyak foto yang terpampang di dinding, di ruangan ini juga ada koleksi benda bersejarah seperti beragam perhiasan yang diwariskan turun temurun, benda pusaka, artefak, barang pecah belah, arca, dan sebagainya. Sayangnya koleksi ini banyak ditaruh di dalam lemari yang kacanya sudah pudar, jadi saya tidak bisa memotret dengan jernih dan resolusi yang bagus.
Yang sangat fenomenal adalah kehadiran KACA SERIBU. Dua buah kaca antik buatan atau dari negara Perancis yang dipasang di 2 sisi yang berlawanan. Mengapa diberi julukan seribu? Karena saat kita mencoba merekam dan memotret kaca ini dari arah atau kaca yang diletakkan di seberangnya, kita akan melihat pantulan berderet-deret di kaca tersebut. Pantulan ini tuh banyak banget. Makanya dikatakan “seribu.” Saya sudah mencoba dan membuktikannya sendiri.
Saya mencoba mencari hukum atau teori fisika yang berhubungan dengan kejadian ini. Tapi belum menemukannya. Barangkali ada yang tahu.

Tentang Sultan Hamid II
Ada 1 sejarah tentang kesultanan Pontianak yang seyogyanya patut kita catat. Ini adalah tentang Sultan ke-8 yang bernama Syarif Hamid II Alkadrie atau yang lebih dikenal sebagai Sultan Hamid II. Beliau memimpin Kesultanan Kadriah Pontianak di tahun 1945-1950, di masa tanah air memproklamirkan kemerdekaan dan berproses memberitakan tentang hal ini kepada dunia. Lahir pada 12 Juli 1913, beliau adalah putra sulung dari Sultan Syarif Muhamad Alkadrie (Sultan Hamid I) atau Sultan Pontianak ke-7 yang juga adalah pendiri dari kota Pontianak.
Sultan Hamid II ditugaskan oleh Presiden Soekarno untuk merancang lambang negara Garuda Pancasila yang hingga kini tetap menjadi simbol dan lambang negara serta berfungsi sebagai satu-satunya logo pemersatu bangsa. Saat mendapatkan tugas tersebut Sultan Hamid II sedang menjabat sebagai Menteri Negara yang tergabung dalam Kabinet RIS (Republik Indonesia Serikat) yang dipimpin oleh Mohammad Hatta.
Saya sempat (sangat) terpesona saat melihat foto besar beliau yang lumayan besar ditampilkan di dinding. Beliau terlihat sangat tampan dengan tubuh jangkung dan wajah keturunan Arab. Ternyata memang benar adanya. Beliau juga orang yang pintar karena sempat menempuh berbagai jenjang pendidikan di Belanda yang akhirnya mempertemukan beliau dengan sang istri yang murni berdarah Belanda. Dari pernikahan ini beliau mendapat 2 anak yang menurut si Ibu saat ini anak-anaknya tinggal di Belanda.
Di salah satu dinding ruang tengah ditampilkan penokohan Sultan Hamid II. Mulai dari tulisan tangan Soekarno tentang rincian visual Burung Garuda, semiotik hukum lambang negara, dan pasal 48 UU No. 24 tahun 2009 tentang bendera, bahasa, lambang negara, serta lagu kebangsaan.
Rancangan lambang negara kaya Sultan Hamid II diresmikan pemakaiannya dalam sidang Kabit RIS pada 11 Februari 1950. Empat hari berselang, tepatnya 15 Februari 1950, Presiden Soekarno memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara ini kepada khalayak umum di Hotel Des Indes (sekarang Duta Merlin) Jakarta Pusat.
Pada 20 Maret 1950, bentuk final lambang negara rancangan Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden RI ke-1 untuk mendapat disposisi persetujuan resmi Presiden. Selanjutnya beliau memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali gambar itu sesuai bentuk final dan aslinya.
Tapi sayangnya meski sudah berjasa merancang Lambang Negara Garuda Pancasila, Sultan Hamid II hingga saat ini belum diangkat sebagai Pahlawan Nasional. Hal ini tersangkut perkara Tragedi Westerling. Pembunuhan masal yang diinisiasi oleh Raymond Pierre Paul Westerling. Seorang Belanda yang memimpin pembantaian keji di Sulawesi Selatan yang terjadi pada Desember 1946 hingga Februari 1947. Meskipun kabarnya tuduhan itu tidak terbukti, namun proposal untuk mengangkat Sultan Hamid II sebagai pahlawan nasional tidak terealisasi hingga saat ini. Sebuah polemik yang kabarnya tidak berkesudahan.


Catatan Pribadi
Berada di Istana Kesultanan Kadriah bagi saya punya kenangan tersendiri. Sebagai penyuka sejarah dan seorang penulis, banyak pengetahuan baru yang bisa saya dapatkan. Tak hanya membacanya lewat buku ataupun kanal tulisan, tapi juga bisa menyaksikan langsung semua pertinggal dengan mata kepala sendiri. Sederet valuable experiences hingga bisa melahirkan sebuah rangkaian story telling murni dari sudut pandang pribadi.
Bersentuhan dengan lingkungan dan orang-orang yang berada di dalamnya juga sangat memberikan manfaat. Saya merasakan sentuhan personal yang begitu mendalam saat si ibu bercerita panjang lebar dengan ekspresi yang begitu mendalam. Rizky bahkan sempat mengatakan bahwa obrolan antara saya dan si ibu terlihat begitu serius seperti sepasang sahabat yang sudah lama tidak bertemu.
Iya sih. Tapi memang pada dasarnya saya tuh hobi banget ngobrol. Apalagi jika topik yang dibicarakan adalah hal yang sangat menarik dan membekas di hati saya.
Saat saya berjalan meninggalkan istana, saya sempat menoleh bahkan berdiri sekian menit menatap bangunan istana yang sudah ditasbihkan sebagai cagar budaya, destinasi sejarah, dan obyek wisata penting bagi kota Pontianak.
Sesuai rencana awal, saya dan Rizky melanjutkan kunjungan ke Masjid Jami Sultan Syarif Abdurrahman. Kesan usia ratusan tahunannya sangat saya rasakan saat mendekati fisik sang masjid. Pembangunan masjid ini selesai di masa pemerintahan Sultan Syarif Usman Alkadrie. Diberi nama sesuai dengan nama almarhum ayahnya, sang sultan pertama, sebagai bukti cinta dan penghargaan kepada beliau.
Sayangnya saat saya berada di situ, masjid ini sedang tutup dan saat itu bukan waktunya salat. Tidak ada penjaga/marbot atau kegiatan di dalam yang memungkinkan saya untuk bertamu.
Masjid beratapkan rumbia dengan struktur kayu ini dan cat kuning ini tampak sepi. Yang saya lihat saat itu adalah beberapa orang anak seusia SD yang sedang asyik bermain bola di sebuah tanah lapang besar yang ada persis di depan masjid.
Saya akhirnya memutuskan untuk berjalan mendekati sebuah dermaga kayu yang berada persis di pinggiran sungai Kapuas. Saya dan Rizky ngobrol sepuas mungkin tentang banyak hal. Khususnya perihal kondisi terkinikan Kesultanan Alkadrie yang sedang didera oleh sebuah hal yang sejak dulu sudah menjadi omongan publik. Berita dan perkara yang, menurut hemat saya. sangat mempertaruhkan nama baik kesultanan.
Tapi mudah-mudahan Istana Kesultanan Kadriah Pontianak dan jejak keturunan Alkadrie bisa terus lestari dengan nama baik yang terus terjaga. Meski terbuat dari salah satu kayu yang terkenal berkualitas tinggi, ada baiknya bangunan cagar budaya bersejarah ini bisa dipercantik kembali. Sosialisasinya terus digiatkan agar lebih banyak orang berkenan datang, menyaksikan kemegahannya, mengakui eksistensinya, dan bisa memberitakannya pada dunia.
Tulisan ini adalah salah satu legacy yang ingin saya ukir untuk Kesultanan Kadriah.
Tentang Pontianak : Mengecap Lezatnya Sop dan Bubur Ikan di Resto Ahian Pontianak




Saya sekali ya, jasa Sultan Hamid II yang sudah mewariskan karya yang menjadi lambang negara kita belum bisa dihargai menjadi pahlawan nasional.
Betul banget. Padahal tidak ada bukti sah beliau terlibat dalam kasus Westerling. Jadi masih polemik.
bagus sekali Istana Kesultanan Kadriah ini ya, Mbak. Ada rumah panggungnya di bagian. Saya juga suka sekali sejarah, dan mengunjungi tempat-tempat seperti ini adalah salah satu kebahagiaan tersendiri. Termasuk menambah wawasan juga. Kaca seribu itu, pasti menjadi salah satu spot menarik di sana. Semoga nanti saya bisa berkunjung ke Istana Kesultanan Kadriah juga. Aamin.
Jejak kesultanan ini memang menarik banget Mas Bambang. Saya lama berada di sini berusaha menyusur, melihat, dan mencatat banyak hal yang bisa dicatat, ditulis, dan dibagikan di sini. Semoga jadi manfaat bagi orang banyak.
Indonesia itu kayak akan sejarah kerajaan2 ya, mba.. Hal seperti ini nih yang membuat anakku tertarik sekali dengan sejarah. Bahkan mau ambil kuliah jurusan sejarah. Beberapa kerjaan yang pernah kami kunjungi di Kalimantan itu kerajaan Kutai. Kalau pontianak belum nih. Semoga ada rejeki bisa berkunjung kesana.
Bener banget Mbak. Sejatinya ada puluhan Kesultanan yang sampai saat ini masih eksis di tanah air. Di Indonesia bagian timur aja banyak banget kesultanannya. Salah satunya adalah Kesultanan Tidore yang sudah sekitar 6 kali saya kunjungi.
Saya ingin sekali punya kesempatan baik untuk mengunjunginya satu persatu. InshaAllah.
Wow. Sultan Hamid II yang merancang lambang negara. Sayang banget ya. Karena hoax (anggapannya begitu. kan tidak terbukti kebenarannya), beliau belum dianggap sebagai pahlawan nasional.
Dari ibu yang menemani saya, polemik tentang status pahlawan nasional itu memang panjang banget ceritanya. Ada pro dan kontra meskipun tidak ada bukti kuat di pengadilan. Walahuallam ya Mbak Yuni. Hal ini benar-benar harus duduk didiskusikan supaya dapat informasi yang tepat.
Cantik sekali ya Mbak
Kearifan lokal yang berbentuk istana, hasilnya megah tapi tetap terasa sejuk
Sayang gak disediakan brosur ya Mbak
Walau ada ibu yang ternyata anggota kerajaan, andai ada brosur kan bisa menambah wawasan, juga bisa untuk antisipasi kalo beliau gak ada di tempat
Pengennya ada brosur lengkap ya Mbak jadi setidaknya pengunjung bisa mendapat info-info penting tentang Istana Kadriah berikut dengan sejarah dari 9 Sultan yang pernah dan sedang memerintah.
Sultan Hamid II bisa dikaitkan dengan westerling itu rincian kisahnya bisa dibaca dimana ya?
Lambang negaranya dipakai, orangnya tak dianggap.
Saya juga sedang mencari Pak/Bu. Info tentang status pahlawan nasional ini saya dapatkan dari ibu yang mendampingi kedatangan saya dan beberapa tautan/artikel yang banyak bertebaran saat kita mencari infonya lewat google.