
Menemukan wastra diantara sekian banyak jadwal kunjungan di Pontianak langsung membuat saya bergairah. Info tentang Kampung Tenun (KANUN) Khatulistiwa mendadak membangkitkan keingintahuan akan tempat ini. Jadi saat hari pertama tiba Pontianak, saya memutuskan untuk menilik produksi tenun khas Pontianak di KANUN Khatulistiwa sebagai jadwal utama dari serangkaian agenda ngelencer di bumi Kalimantan Barat
Tak lama setelah mendarat di Bandar Udara Supadio dan rehat sebentar di Hotel Golden Tulip Pontianak, saya pun langsung mengatur rencana pribadi dalam sekitar 3 jam ke depan. Suami saat itu langsung kerja untuk meeting koordinasi sementara saya menghabiskan waktu dengan kegiatan sendiri.
Setelah berbagai pertimbangan, khususnya soal efisiensi, akhirnya saya memesan driver on-line untuk mengantar ke-2 tujuan wisata yang berada masih di dalam kota dan bisa digapai dalam waktu cepat. Kunjungan singkat dan bisa membawa saya kembali ke hotel sebelum maghrib untuk kemudian makan malam bersama suami.
Pertama ke Tugu Khatulistiwa dan kedua ke Kawasan Tenun (KANUN) Khatulistiwa yang berada tidak jauh dari tugu. Sang supir juga sempat menawarkan untuk sekalian mampir ke makam Sultan Syarif Abdurrahman. Wisata religi yang searah dengan kedua tempat ini. Tapi mengingat saya tidak berpakaian syar’i, rencana ini kemudian terpaksa dibatalkan.
Setelah berdiskusi singkat, pak supir mengusulkan untuk ke Kawasan Tenun (KANUN) Khatulistiwa dulu karena jaraknya lebih jauh baru setelah itu ke Tugu Khatulistiwa dalam perjalanan pulang kembali ke hotel.
Saya langsung setuju.
Tentang Wastra : Menemukan Cantiknya Wastra di Batik Rumah Suryowijayan Yogyakarta

Sembari berbincang hangat dengan pak supir, saya menikmati setiap jejak perjalanan dengan menyaksikan beberapa bangunan dan fasilitas umum yang ada di dalam kota Pontianak. Ini adalah kunjungan perdana saya ke kota yang dilalui oleh garis khatulistiwa yang berada di sisi baratnya pulau Kalimantan. Tata dan letak bangunannya terlihat padat di berbagai sisi. Khas sebuah kota yang meletakkan perdagangan sebagai generator ekonomi masyarakat. Jalanan umum yang disediakan cukup bagus, meskipun banyak juga yang harus diperbaiki dan diperlebar demi kenyamanan serta fleksibilitas.
Terik tentu saja jadi santapan udara sehari-hari karena tepat berada di garis ekuator. Jadi saat saya berpeluh hebat sejenak setelah turun dari kendaraan, pak supir sempat merasa khawatir dan berkali-kali menawarkan agar saya membeli banyak minum air putih dingin di mini market supaya tidak dehidrasi.
Ah bener juga ya. Kenapa juga tadi saya tidak membawa air putih botolan yang disediakan oleh hotel?
Menerobos sedikit kemacetan, saya akhirnya tiba di Kawasan Tenun (KANUN) Khatulistiwa yang berada kelurahan Batu Layang, kecamatan Pontianak Utara. Suasana terlihat begitu sepi, hening, dan lengang. Tenang dan hanya diiringi oleh hembusan angin kencang serta sinar mentari yang makin mencorong. Sejenak setelah turun dari kendaraan, lama-lamat saya mendengar suara seorang ustaz memberikan ceramah dari dalam sebuah rumah yang ada di kawasan ini.
Pak supir memberhentikan dan memarkir kendaraan tepat di depan sebuah rumah yang cukup besar. Di salah satu dinding fasadnya terpasang sebuah spanduk identitas Tenun Macik dengan huruf yang tebal-tebal dan mudah dibaca dari kejauhan. Terpampang pula berbagai logo BUMN yang menjadi pembina dari usaha ini.
Saya sempat melongok dan mengetuk pintu rumah yang terlihat masih terkunci ini.
“Semoga orangnya ada di dalam ya Bu. Takutnya sedang ikut pengajian. Tapi rumah ini biasa dikunjungi wisatawan yang berminat membeli tenun Pontianak,” ujar pak supir saat saya terlihat gamang untuk melangkah lebih jauh dan menunggu.
Saya menjawab rangkaian kalimat ini dengan anggukan penuh keyakinan. Tadi saat di perjalanan saya memang sempat mengurai cerita bahwa saya sangat berharap menemukan salah seorang atau sekelompok penggiat wastra yang memiliki reputasi baik dan cukup dikenal oleh masyarakat luas. Dan itu dijawab dengan Kampung Tenun (KANUN) Khatulistiwa dan keyakinan penuh oleh pak supir.
Tak lama pintu depan rumah dibuka oleh seseorang dan mempersilahkan saya masuk.
Terhidang di depan mata, ruang seluas sekitar 14-15m2 dan puluhan bahkan mungkin ratusan produk wastra dengan ragam warna yang sangat mencolok. Sebagian besar hadir dengan pola yang cantik dengan karakter yang kuat dan khas. Garis tarikan karya handmade yang belum pernah saya saksikan sebelumnya. Ada songket dan tenun dalam bentuk kain meteran tapi banyak juga yang sudah diolah dalam berbagai ragam produk fashion serta turunannya.

Saat sedang asyik menelusur setiap sisi ruangan sembari memotret, saya tetiba merasakan sebuah keheningan berada di sebuah gallery wastra yang perlu dipoles dengan display yang lebih artistik dan estetik. Kebayang betapa asyiknya jika ruang yang lega ini dapat sentuhan professional interior designer agar lebih eye-catchy dan representatif untuk menyambut tamu. Apalagi saat saya melihat di akun IG @kanun_khatulistiwa, tempat ini sering sekali menerima kunjungan dari berbagai institusi pemerintah dan tamu-tamu penting lainnya.
Saya kemudian membayangkan bagaimana cantiknya kain-kain meteran itu tergantung dengan menggunakan gawangan kayu berukir. Disusun berderet lalu dilengkapi dengan lampu sorot yang membuat motif kain kelihatan moncer. Lalu sebagian besar kain-kain yang dilipat di bawah itu bisa tersusun di dalam lemari kayu berkaca dengan sekat-sekat permanen dan ukiran keren yang membuat tumpukannya tidak terjatuh-jatuh dan tetap terlihat rapi.
Sayang sekali jika hasil karya yang dikerjakan dalam rentang waktu yang lama dan membutuhkan keahlian yang langka seperti menenun ini, ditampilkan seadanya saja. Produk seperti ini tuh seharusnya mendapatkan tempat/wadah yang proporsional dengan harga dan lelah yang sudah dihabiskan untuk menghasilkannya.
Selain kain meteran, saya juga melihat beberapa produk turunan yang bahan dasarnya berasal dari sisa kain yang sudah terpotong. Ada yang dijadikan clutch (tas tangan), penutup kepala laki-laki (yang kalau di Sumatera terkenal dengan nama “tanjakan”), dompet, dan lain-lain. Tersemat juga beberapa sertifikat a/n Songket Macik dari berbagai organisasi dan dokumentasi banyak kegiatan yang berhubungan dengan CSR yang melibatkan partisipasi dari komunitas Kampung Tenun (Kanun) Khatulistiwa.
Puluhan kali melihat gallery, outlet, baik secara pribadi dan di dalam pameran khusus wastra, saya sungguh berharap agar presentasi dan outlook beragam karya di ruangan ini bisa tampil lebih elegan dan berkelas. Ada added value yang bisa dinikmati selain produk itu sendiri.
Tentang Tenun Aceh : Nyak Mu. Legenda Tenun Songket Aceh


Tentang Wastra Kalimantan Selatan : Sasirangan. Warisan Budaya Tak Benda Kalimantan Selatan
Berbincang dengan Sang Penerus
Tak lama kemudian dari arah belakang muncul seorang perempuan bergamis datang menemui saya. Namanya Ibu Kurniati. Dengan sapaan ramah dan tampilannya yang sederhana tanpa riasan wajah, beliau memperkenalkan diri sebagai tuan rumah dari tempat ini.
Selain memperkenalkan sekian banyak karya wastra, beberapa karya/kain dengan sentuhan Melayu, lalu Tenun Corak Insang yang menjadi ciri khas utama kota Pontianak, beliau dengan bangga menyebutkan bahwa Kampung Tenun (KANUN) Khatulistiwa ini sudah berdiri sejak 1999. Ditetapkan sebagai kampung wisata kemudian mendapatkan beragam operational dan financial support dari beberapa BUMN, kampung dengan jumlah penenun puluhan orang serta jenama ini, aktif terus berproduksi tanpa lelah.
Dengan puluhan anggota yang berada di kawasan yang sama, Ibu Kurniati juga memperlihatkan kepada saya beberapa kegiatan yang melibatkan dirinya dan para penenun aktif di kampungnya. Beliau juga menunjukkan partisipasi mereka pada salah satu event international, Tong Tong Fair 2022 yang diselenggarakan di Centre of Haque, Den Haag, Belanda. Ketertarikan publik dan suasana ramai serta transaksi penjualan yang mengesankan, telah meninggalkan banyak incredible memories buat Ibu Kurniati secara pribadi dan Kampung Tenun (KANUN) Khatulistiwa sebagai well being and manageable community.
Kami pun bertukar cerita panjang kali lebar tentang pameran dan aktivitas komunitas. Mengetahui bahwa saya pernah menjadi technical advisor dan pengajar untuk Kementrian Ekonomi Kreatif dan program OK OCE, beliau pun langsung bertukar banyak pengalaman dengan begitu semangat. Apalagi setelah melihat beberapa hasil karya wire jewelry handmade atas nama jenama ANNIE NUGRAHA Handmade Jewelry, beliau langsung terfikirkan untuk berkolaborasi. Waahh hati saya langsung mencelat berbunga-bunga. Siapa coba yang tak mau melakukan kerja sama dengan wastra nusantara yang sudah punya kondite bagus sepert Kampung Tenun (KANUN) Khatulistiwa.
Kebersamaan kami kemudian disempurnakan saat Ibu Kurniati mengajak saya untuk menjelajah sisi belakang rumah beliau yang digunakan sebagai area produksi sembari melanjutkan pengerjaan selembar tenun corak Insang Pontianak.
Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) yang digunakan terdengar berderap-derap seiring dengan gerakan Ibu Kurniati menyusur lembar demi lembar pola yang sudah tersusun. Satu persatu benang berwarna alam yang digunakan ditelisik mengikuti pola, ditarik, lalu dipadatkan. Dengan lihainya Ibu Kurniati menyelaraskan gerakan tangan serta kaki agar konsistensi ritme cara beliau bekerja mendapatkan hasil yang maksimal.
Sembari menenun saya mendengarkan cerita atau perjalanan hidup beliau yang sedari kecil sudah tertarik pada dunia menenun. Mewariskan apa yang dikerjakan oleh almarhum ibunya, Kurniati kecil mendapatkan dan mengalami masa-masa penuh pembelajaran sehingga yakin untuk meneruskan kegiatan menenun sejak dia masih berusia belasan tahun. Kecintaan itu bertumbuh seiring dengan minat dan keseriusan beliau akan keahlian menenun ini.
Di usianya yang sudah menginjak 45 tahun saat bertemu saya di 2024, Ibu Kurniati berujar bahwa dia akan tetap konsisten dengan usaha menenun ini sepanjang usia. Malah begitu bersemangat menerima kemampuan dan ide-ide baru seandainya jika rangkaian ilmu ini bisa menjadikan dirinya dan komunitas penenun di Kampung Tenun (KANUN) Khatulistiwa bisa menjadi wisata edukasi dan budaya yang membanggakan dan diandalkan oleh Pontianak dan Provinsi Kalimantan Barat.
Beliau pun berharap agar serangkaian motif yang sudah ada seperti Corak Insang dan beberapa adaptasi motif dari budaya Melayu dan Dayak bisa terus berinovasi mengikuti zaman namun tetap mempertahankan koridor rancang awal yang dimiliki oleh tenun Pontianak.
Masa boleh berganti, selera publik boleh berubah, tapi keasilan karya harus tetap dipertahankan karena inilah sejatinya warisan budaya yang nilainya tak pernah luntur bahkan terus lestari. Begitu kalimat penuh keyakinan yang disampaikan oleh Ibu Kurniati kepada saya.
Empat buah ATBM yang dimiliki oleh Ibu Kurniati di rumahnya dan beberapa lainnya yang diinvestasikan oleh para penenun di rumah masing-masing tentunya akan menjadi saksi bagaimana Ibu Kurniati dan para tetangganya tak henti berkarya dan bergerak maju demi kelestarian wastra asli Pontianak. Saya yakin mereka inilah sejatinya pelestari wastra yang patut diperhitungkan dalam peta wastra nusantara kini dan nanti.
Saya menutup pertemuan kami dengan membeli selembar kain bercorak insang sebagai kenang-kenangan dan buah tangan sekaligus pengingat bahwa saya pernah berada dan menjadi tamu Kampung Tenun (KANUN) Khatulistiwa yang berada di Pontianak, ibu kota provinsi Kalimantan Barat.


Secara umum terlihat dominan motif melayu ya
Betul banget. Terlaris menurut mereka.
Selalu kalap kalo ngelihat kain tenun
kelihatan mewah dan eksotis
Semula saya pikir kain tenun cuma ada di Nusatenggara, kemudian ingat Majalaya Jabar juga punya kain tenun. Atau dengan kata lain menyebar di seluruh penjuru Tanah Air.
Pembedanya sesuai lingkungan setempat seperti batik
Corak insang itu yang sedang ditenun Ibu Kurniati ya Mbak?
Dengan bertemu para pembuat tenun apalagi orang yang tulus melestarikan, bikin hati kita bergetar Mbak. Yang mereka lakukan adalah segelintir dari banyak orang yang berkenan dan mau melakukannya. Saya beruntung. Saat menjelajah beberapa provinsi di tanah air, saya bisa bertemu para penenun ini. Alhamdulillah langsung mendapat sambutan yang hangat sampai ngobrol berjam-jam dengan penuh suka cita.
Bener Mbak Maria. Yang dikerjakan Ibu Kurniati itu adalah Corak Insang khas kota Pontianak. Coraknya sudah digradasi tidak polos saja. Warnanya juga warna alam yang notabene lebih soft dengan harga jual yang istimewa.
Motif kain tenun Pontianak bagus-bagus ya, Mbak. terus warnanya cerah. Jadi kalau dipadu baju warna polos, apalagi putih dan hitam sangat klop. Salut sekali bagi Ibu Kuniati yang terus semangat memproduksi dan menjaga kelestarian kain tenun Pontianak ini
Betul banget Mas Bambang. Mereka melestarikan beberapa motif seperti sentuhan/ciri khas Melayu, khas Kalimantan Barat, dan kota Pontianak. Tapi yang pasti penenun seperti Ibu Kurniati inii wajib disokong oleh pemerintah setempat karena sejatinya merekalah para pewaris budaya.
Menarik! Kampung Tenun (KANUN) Khatulistiwa menghadirkan keindahan wastra khas Pontianak dengan sentuhan budaya yang autentik. Sebuah destinasi yang wajib dikunjungi bagi pecinta kain tradisional!
Setuju banget. Mampirlah ke KANUN Khatulistiwa saat ada rezeki dan kesempatan datang ke Pontianak.
Penataan pajangan kain tenun yang apa adanya di Kanun Pontianak ini mirip dengan yang saya jumpai juga di sentra industri tenun desan Sukarara, Lombok mbak.
Wah semoga Kolaborasi wire jewerly dengan kain tenunnya beneran bisa segera terwujud ya mbak, produknya segera meluncur
Nah saya belum pernah Mbak Nanik menyusur tenun dan para penenun di Lombok. Sudah banyak yang ngasih cerita tapi belum ada rezeki ke sana. Mudah-mudahan ada kesempatan di tahun ini atau tahun-tahun mendatang.
Iya Mbak. Saya lagi berusaha menemukan konsep kolaborasi yang pas.
Masyaallah bagus-bagus banget kain tenun dari Kampung Tenun Khatulistiwa ini, motifnya cantik-cantik banget, pasti seru juga kalo kain tenun ini dikreasikan dalam berbagai produk atau aksesoris lain. Semoga rencana kolaborasinya berjalan lancar dan cepat terwujud ya Mba Annie. Aamiin…
Motif beragam yang menampilkan ciri khas Kalimantan Barat berpadu dengan Melayu. Kombinasi yang apik banget pastinya.
Aamiin YRA. Semoga segera terwujud ya Mas. InshaAllah.
Cakep banget tenun motif insang karya Bu Kurniati tersebut. Warnanya juga bagus kombinasinya. Dipadupadan dengan jewelry sentuhan Mbak Annie makin-makin deh istimewanya. Semoga terwujud kolaborasinya yah…
Semoga juga nih, tahun ini jadi penelitian sama temen dosen ke Pontianak. Katanya juga ke Singkawang. Duh…ngarep banget nih…
Wah semoga jadi programnya ya Mbak. Nanti kalau butuh beberapa referensi tempat wisata, silahkan hubungi saya. Saya juga punya kontak sewa mobil (transportasi) dan beberapa teman-teman yang tinggal di Singkawang. Nanti tak kenalkan biar Mbak Hani dkk ada yang mendampingi.
Kain tenun nusantara sangat beragam dan cantik -cantik ya, Mbak. Semua mempunyai ciri khas motif tersendiri. Termasuk kain tenun Pontianak ini. Dan kerennya di sana ada KANUN atau Kampung Tenun. Jadi bisa melihat koleksi lengkap juga pembuatannya.
Soal desain interior yang seadanya, mungkin karena gak ada yang mengedukasi
dan yang kedua mungkin karena biaya pemeliharaannya mahal Mbak, kain yang dipajang kan rentan kotor , lampu listrik juga nambah biaya
Walau bakal seimbang dengan pemasukan ya? Berkat kain tenun cantik-cantik yang dipajang di seluruh, pengunjung bakal kalap mata dan kalap belanja :D
Bener banget Mbak. Penataan ini akhirnya saya obrolkan langsung dan tak kasih foto-foto saat ada pameran wastra di JCC. Alhamdulillah Ibu Kurniati akan mengusulkan hal tersebut ke pembina. Mudah-mudahan bisa dikabulkan. Sayang banget jika kain-kain dan produk-produk sebagus itu tidak tertampilkan dengan selayaknya.
Masyaa Allah cantik tenun Pontianak. Warnanya cerah dan beragam. Ini yang syarat suka kalau wastra dari suatu daerah mempunyai berbagai warna yang beragam. Motifnya juga banyak macamnya. Indah semua, aku yang cuma lihat di foto saja bingung harus pulih yang mana. Apalagi kalau di galerinya langsung. Bahaya nih. Bisa-bisa ingin beli semua.
Semua memang secantik itu Mbak Ugik. Motifnya beragam dan dikerjakan dengan perpaduan warna yang apik. Wastra kita tuh memang istimewa ya.
Banyak belajar juga nih dari pengalamannya ibu Kurniati. Gak sangka ya Kampung Tenun Khatulistiwa juga udah ikut event international, Tong Tong Fair 2022 di Centre of Haque, Den Haag, Belanda.
Gak hanya mengangkat nilai perekonomian penenun di daerahnya tapi juga membawa visi misi budaya bangsa juga mengingat kain tenun khas dari Kanun Khatulistiwa ini ikut mengharumkan nama bangsa dan negara Indonesia
.
Bener banget Teh Okti. Karena pada kenyataannya Ibu Kurniati mewakili semua penenun yang ada di kampungnya. Mereka berproduksi bersama untuk penjualan bersama. Konsep komunitas yang sangat bernilai.
Pas lihat foto tas tenun hitam itu, saya jadi ingat kayaknya pernah punya wastra dengan motif sama. Duh! Di mana ya saya nyimpennya. Nyesel banget kalau dulu saya masih belum apik menyimpan barang. Padahal bagus itu kainnya
Wah harus dicari itu Myra. Sayang banget kalau hilang. Tas-tas dengan kain tenun tuh selalu cantik dan eksklusif untuk dipandang.
Kain tenun pasti harganya mahal yaa.. ka Annie.
Karena memang cara membuatnya yang dibuat satu persatu menggunakan alat tenun serta membutuhkan waktu yang cukup lama. Belum lagi benangnya yang khusus.
Perawatannya juga kudu ekstra.
Kami punya seragam keluarga kain batik Kalimantan.
BUkan kain tenun sii.. hihihi..
Tapi motifnya sungguh cantiikk dan warnanya baguusss.. Sehingga meski sudah bertahun-tahun, kami tetap menggunakannya di waktu khusus, seperti pernikahan saudara. Kan cakeepp banget tuh.. kembaran keluarga besar Lukman Effendi rahimahullah.
Betul banget. Dan butuh satu keahlian tertentu, ketekunan, dan kesabaran, untuk menghasilkan sebuah kain tenun yang layak untuk dijual. Yang berukuran 60x120meter aja bisa bulanan baru selesai. Itu pun disambi oleh ibu-ibu penenun dengan berbagai kegiatan mengurusi keluarga.
Coraknya unik ya mbak. Kayaknya emang batik ini menjadi semacam warisan budaya yang merata di Nusantara, karena hampir tiap daerah punya kekhasan masing-masing, termasuk Pontianak. Jadi tertarik pingin punya nich.
Betul sekali. Setiap daerah memiliki DNA wastranya masing-masing dan itu biasanya selalu mengusung keunggulan budaya setempat. Yok kita beli wastra nusantara sebagai wujud cinta dan dukungan kita kepada para perajinnya.