
Makanan atau masakan tidak akan sempurna jika tidak menghadirkan garam sebagai bumbu. Berkesempatan berada di Bali, salah seorang teman mengajak saya untuk meniti produksi garam tradisional di Desa Kusamba, Kecamatan Klungkung, yang hingga saat ini masih diakui kualitasnya sebagai salah satu yang terbaik di Bali
Setelah 3 hari berturut-turut mengikuti serangkaian acara Ubud Writers & Readers Festival 2024 di Bali, saya pun “turun gunung” dan menginap di rumah salah seorang teman UKM di kawasan Pering Riverview Estate di Gianyar. Dari sini saya kemudian mengatur acara khusus jalan-jalan seharian penuh keluar Denpasar dan menutup 10 hari penuh di Bali dengan berkumpul bersama teman-teman lama. Ngobrol segala hal dari Sabang hingga Merauke dan waktu menginjak hampir tengah malam karena sudah lama tidak bersapa muka.
Beberapa hari sebelum keberangkatan dan berkabar ke Dwi, salah seorang sahabat blogger yang sudah belasan tahun tinggal di Bali, dia mengajak saya untuk menyempatkan diri mampir ke Kusamba yang berada di Klungkung. Satu tempat yang hingga saat ini masih memproduksi garam organik secara tradisional.
Dalam sekian waktu setelah menerima ajakan ini, rasa penasaran pun langsung menyergap hati. Apa yang disampaikan Dwi membangkitkan rasa ingin tahu yang begitu kuat. Saya pun dalam beberapa menit kemudian mencari informasi tentang garam Kusamba lewat beberapa media on-line. Dan ini membuat saya begitu bersemangat untuk segera datang ke desa yang berada di pinggir pantai ini.
Tentang Bali : Keindahan Bunga Abadi di Taman Edelweis Karangasem Bali


Tentang Bali : Melali ke Little Talks Ubud Bali
Desa Kusamba
Kendaraan yang saya tumpangi memasuki Desa Kusamba setelah hampir 1 jam perjalanan dari Gianyar. Sepagian itu desa terlihat sepi dan tenang. Hanya beberapa orang lalu lalang naik sepeda. Melewati beberapa rumah penduduk dan sebuah masjid yang cukup besar, saya kemudian tiba di sebuah pantai yang mulai sibuk dengan beragam kegiatan.
Tak jauh dari tempat parkir di sebuah tanah lapang, terlihat sebuah dermaga yang lumayan besar dengan umbul-umbul yang melambai lincah tersentuh angin. Dermaga bernama The Angkal Fast Cruise ini menawarkan perjalanan laut menggunakan kapal cepat (speedboat) menuju Nusa Penida. Pilihan waktu berlayarnya lumayan banyak. Sekitar 6-7 kali mulai dari pagi hingga sore hari. Setidaknya saat gelombang laut sedang dalam kondisi aman dan kondusif untuk berlayar.
Saat itu tamu dermaga sedang tidak banyak tapi aktivitas sekitarnya bergerak ligat begitu pun dengan sinar mentari yang gagah terang benderang menunjukkan kegarangannya. Berasa banget manfaatnya mengenakan topi di sini. Setidaknya sunscreen yang dioleskan bisa bertahan tanpa beban dan efek yang berat.
Kaos yang saya kenakan mendadak banjir keringat.
Tapi meskipun berpeluh hebat, saya menyempatkan diri melangkah ke ujung dermaga dan mengambil video di sini. Hembusan angin pantai menyapu wajah dengan air laut yang bergelombang kecil dan teratur. Rangkaian kayu-kayu tebal yang dipasang berurutan menimbulkan bunyi pijakan yang kuat. Dermaga kayu yang saya injak tersebut terasa agak bergoyang mengikuti tiupan angin yang begitu terasa. Begitu dengan beberapa umbul-umbul yang ditegakkan di beberapa pegangan kayu.
Mendadak saya merindukan perjalanan penyebrangan laut yang singkat antara Ternate – Tidore menggunakan kapal bermesin satu. Meski daratan kedua pulau ini bisa langsung terlihat dan terkesan begitu dekat, saya sungguh menikmati waktu berlayar yang hanya 10 hingga 15 menit itu. Meski telinga harus tercemar dengan bunyi mesin yang memekakkan telinga, menyeberang di atas lautan sungguh bikin hati ini merindu.
Usai melihat ke arah laut yang tak bertepi, saya membalikkan badan, menebar pandangan ke arah daratan. Dari satu titik, netra saya dihibur oleh banyak sekali perahu kayu berwarna putih yang terparkir rapi di bibir pantai. Ada juga sebuah perahu beratap yang juga berwarna putih sedang menurunkan bagasi berkarung-karung. Entah apa yang diangkut tapi yang pasti barang-barang di dalam karung tersebut diangkat satu persatu oleh banyak tenaga.
Kembali menebarkan pandangan ke berbagai sisi, saya memahami bahwa Pantai Kusamba ini berpasir hitam, lembaran daun yang luruh serta binatang-binatang laut yang cukup tajam jika terinjak oleh kaki tanpa alas. Sepertinya kurang cocok untuk dijadikan tempat berenang. Fungsilah lebih kepada kegiatan perdagangan serta aktivitas melaut. Pantainya juga tidak terlalu tinggi dengan gelombang air yang nyaris tenang.
Dwi melambaikan tangan ke arah saya untuk kembali melanjutkan penyusuran pantai.
Baiklah.
Saya pun bergegas dengan setengah berlari. Iseng aja pengen merasakan hantaman kaki di atas dermaga kayu yang kokoh dan sedang heboh bergoyang itu. Kapan lagi kan bisa melakukan ini. What a very fun experience indeed.


Tentang Bali : Menyesap Harmoni di Desa Adat Tenganan Pegringsingan Karangasem Bali
Saya, Dwi, dan Bli Wayan yang mengawal kami, berjalan pelan sembari ngobrol tentang banyak hal dan menyapa akrab beberapa orang warga desa. Dwi menceritakan bahwa desa nelayan atau desa pesisir ini telah berubah. Di pinggir pantai sudah berdiri beberapa villa atau rumah. Bahkan ada 1 yang berukuran cukup besar dan terintip mewah sembari menyediakan/membangun akses jalan kendaraan sendiri.
Saya sempat melewati sebuah warung yang cukup besar dan sedang ramai ditongkrongi oleh banyak pria. Selain berfungsi sebagai toko kelontong kecil-kecilan, warung ini juga menyediakan masakan rumahan dan sederetan minuman dingin. Saya akhirnya mampir ke sini karena leher sudah berasa kering kerontang. Sebotol sedang teh dingin sukses meluncur dan menuntaskan dahaga.
Sambil menyusur pantai saya mengamati sekian banyak perahu nelayan. Warnanya kompak berseragam putih meski diantaranya diselipkan beberapa warna terang lainnya. Kayunya terlihat (sangat) kokoh dengan cat yang terlihat masih baru. Saya membayangkan betapa gagahnya kapal-kapal jukung ini berlayar di lautan dengan warna putih yang gampang terlihat dari angkasa. Pemandangan yang sempat saya nikmati saat hendak turun di bandara internasional Ngurah Rai. Mereka terparkir rapi di atas pasir hitam dan pepohonan yang tumbuh di pinggir pantai.
Beberapa kali saya sempat menghentikan langkah dan meminta Dwi memotret. Dengan langit biru cerah, saya yakin kombinasi antara pantai dan angkasa akan menciptakan produk fotografi yang cantik menawan. Dan itu selalu terbukti.

Pemandangan luas terhampar tempat air laut diproses menjadi garam (kanan)
Mengunjungi Produksi Garam Kusamba
Setelah melangkah sekitar 300m-an, saya bertemu dengan sepasang suami istri yang sedang sibuk mengangkat dan memindahkan sekarung garam. Sang lelaki, Pak Pantat, terlihat bertelanjang dada dengan tubuh menghitam karena terbakar sinar matahari. Sang istri turut membantu dengan kepala tertutup topi caping yang bentuknya menyerupai mangkok dengan cekungan yang cukup dalam. Keduanya sudah berusia 70-an tahun tapi terlihat sehat dan bersahaja, serta dapat berkomunikasi dengan baik. Sambutan keduanya yang begitu ramah membuat saya langsung terasa nyaman.
Saya diajak masuk ke dalam sebuah gubuk kecil. Di dalamnya terdapat berkarung-karung garam yang sudah siap dijual dan beberapa peralatan yang digunakan untuk memproses pembuatan garam. Berbeda dari garam meja yang biasa saya lihat dan konsumsi, garam Kusamba terlihat seperti potongan kristal tipis dan lebar. Bagai pecahan kecil kaca hanya saja warnanya putih susu bukan transparan. Saat dipegang kristal itu tidak gampang pecah dan terlihat tanpa celah.
Rasa asinnya juga lebih terasa dibandingkan garam biasa. Secuil pun asinnya sudah. nonjok banget di lidah. Saya langsung mengernyit saat menikmati sentuhan asin yang berbeda dari apa yang pernah saya rasakan.
Saya membeli sekilo garam Kusamba dengan harga Rp20.000,00/kg dan membaginya menjadi dua untuk disimpan terpisah. Saya langsung membayangkan. Dengan tingkat keasinan yang organik ini, tentulah penggunaan garam Kusamba bisa jauh lebih hemat ketimbang garam biasa. Dan ini tentunya sangat menguntungkan para pengusaha kuliner. Membeli langsung dari produsen seperti Pak Pantat dan rekan-rekannya, ongkos pembelian bahan baku pembuatan masakan/makanan akan (jauh) lebih hemat.
Sembari melihat-lihat berkarung-karung garam yang sudah dibuat, Pak Pantat bercerita bahwa pembuat garam di desa Kusamba ini sudah banyak berkurang. Generasi yang berada di bawah beliau memiliki minat yang sudah berbeda. Seperti halnya anak-anak Pak Pantat yang bekerja di bisnis jasa dan entertainment.
Hal ini sangat bisa saya maklumi.
Dengan proses pengerjaan yang sangat menguras fisik, pastinya butuh perjuangan yang tidak sedikit. Mulai dari menyaring air laut, menjemur, mengeringkan, hingga berubah menjadi kristal garam, sungguh menyita waktu. Apalagi dikerjakan di atas terik matahari dan memang semua proses butuh kondisi langit terik dan terang benderang.
Usai berbincang, saya memotret berbagai fasilitas penunjang proses pembuatan garam. Mulai dari berbidang-bidang tanah lapang yang sangat luas hingga berderet-deret palungan batang kelapa yang terbelah dua dan menjadi wadah proses akhir pembuatan garam Kusamba.
Hanya dalam sekian menit saja, mata saya sudah memicing menahan silau yang menerpa dan menerjang indera penglihatan. Tak terbayangkan bagaimana Pak Pantat dan semua perajian garam berjuang menghadapi hal yang sama berhari-hari, mulai dari pagi hari sampai matahari menjelang terbenam, hingga mendapatkan garam yang mengkristal dengan sempurna dan dapat “dipanen” serta layak untuk dijual, ditawarkan kepada publik.
Sungguh luar biasa usaha yang dijalankan oleh para pembuat garam Kusamba ini. Tak terbilang betapa saya sangat mengagumi usaha dan pekerjaan mereka. Mengerjakan, memproses, tentunya butuh waktu dan kesabaran yang tidak seujung kuku. Ada rangkaian ikhtiar yang membutuhkan keahlian tertentu yang pastinya tidak dimiliki oleh orang banyak.

Tentang Bali : Rahasia Keindahan di Secret Garden Village Bedugul Bali
Pengalaman Singkat Namun Berharga
Meski pekerjaan membuat garam membutuhkan kesabaran dan ketahanan tubuh yang prima, Pak Pantat menyatakan akan tetap setia dengan bisnisnya ini. Pemesanan garam pun masih sangat menjanjikan. Permintaan garam organik Kusamba tak pernah ada hentinya. Selalu ada transaksi bisnis yang membuat dapur beliau ngebul. Pesanan berjalan estafet berterusan, baik untuk penggunaan rumahan, usaha kuliner domestik, bahkan hingga menyentuh ranah export lewat perantara (para pemain besar).
Jadi sesungguhnya “nafas kehidupan dan bisnis” garam organik Kusamba masih mendapatkan tempat yang layak. Meski sesungguhnya usaha mereka “bisa terkalahkan” di satu waktu oleh usaha produksi garam yang lebih besar, pabrikan, dan modern.
Hanya kekhawatiran tentang regenerasilah yang cukup mengganggu pemikiran beliau. Pekerjaan tradisional memang butuh ketekunan, konsistensi, dan menguras fisik serta waktu yang berkepanjangan. Serangkaian cerita yang terus tergerus oleh kehadiran teknologi modern dengan proses dan hasil produksi yang lebih cepat. Termasuk diantaranya the way on thinking para generasi penerus yang tak mau atau sedikit sekali yang berkenan bertahan dengan segala yang “berbau” tradisional.
Namun meskipun berjuang dengan sederet tantangan, saya melabuhkan serangkaian harapan kepada para pembuat garam Kusamba ini agar tetap bertahan melahirkan jutaan ton garam organik berkualitas dengan DNA khas Kusamba dari masa ke masa. On the contrary setidaknya eksistensi mereka tetap menjadi opsi destinasi wisata di Klungkung yang patut dimasukkan ke dalam daftar kunjungan. Izinkan mata dunia melihat dan menjadi penyaksi kehadiran mereka di bumi wisata pulau dewata.

Waaaahhh…gak menyangka jadi tulisan yang panjang dan bagus!