
Saya langsung mendadak terintimidasi saat membaca judul film ini diantara banyak pilihan film thriller lainnya di Netflix. Pemilihan dan penggunaan setiap kata untuk judul menimbulkan mind pressure yang lumayan menantang menurut saya. Jadi kita tidak perlu berpikir berulangkali untuk tahu dan siap menghadapi kisah kejahatan yang menyerang sisi psikologis para tokoh yang ditampilkan.
Sebagai penggemar film-film yang menyajikan ketegangan dan kengerian, kata DEVIL memunculkan kesan tersendiri buat saya. Biasanya kalau sudah menggunakan kata ini, bersiaplah untuk “menikmati” karakter-karakter yang tenggelam dalam depresi, lalu kemudian meledak dan mencelakakan sekian banyak orang. Atau profiling seseorang yang memiliki karakter seperti setan. Seorang yang bisa dengan mudah mempengaruhi orang lain dan memanfaatkan kelemahan orang tersebut untuk melakukan banyak hal karena efek brain washing.
Orang yang kosong pikiran dan kemarau hati ketemu dengan orang yang pemikirannya melenceng. Jadi pas lah itu. Layaknya panci ketemu tutup.
Tapi sudah mengerti situasi yang bakalan dihadapi, saya gak kapok. Saya memutuskan untuk tetap menonton film ini. Tentu saja setelah melewati trailer selama beberapa menit dan menyaksikan beberapa trembling shots yang bikin hati berdebar-debar.
Kuy lah. Mari kita tonton saja dan buat review nya.
baca juga : terpesona si marlina. pembunuh dalam empat babak
Kisah Suram Perjalanan Hidup Arvin Rusell

Film ini menyajikan kisah suram perjalanan hidup Arvin Russell (Arvin) dari kecil hingga dewasa. Setidaknya sebagian besar dari rekaman cerita adalah tentang Arvin yang kemudian dihubungkan dengan beberapa tokoh lain yang tinggal di sebuah desa/kota kecil yang bernama Knockemstiff, Ohio, West Virginia.
Lokasi shootingnya sendiri terlihat oldiest banget. Rumah-rumah dan bangunan kayunya juga tampak tua dengan furniture yang bisa dibilang seperti sisa-sia. Meski ada jalanan aspal (sebagai jalan utama), sebagian besar masih terlihat hanya tanah dan dikelilingi hutan. Rumah-rumah yang adapun letaknya saling berjauhan. Biasanya terpisahkan oleh ladang atau savana yang luas membentang. Jalanan dibuat narrow, berdebu atau dengan kondisinya becek dengan rerumputan yang hidup segan mati tak mau. Ciri khas yang sering saya lihat untuk berbagai karya sinema yang bertemakan atau mengangkat suasana Perang Dunia II, ataupun dimasa-masa perang tersebut sedang atau telah terjadi.
Setting seperti ini, menurut saya, menambah kesan suram yang ingin diangkat lewat film yang narasinya dibacakan oleh Donald Ray Pollock, si penulis novel dengan judul yang sama (2011). Novel inilah yang kemudian diadaptasi oleh Campos bersaudara (Antonio dan Paulo) untuk menjadi sebuah karya sinema.
baca juga : the maid. horor suspense yang menghadirkan ragam ketegangan
Membahas kembali soal Arvin.
Dimasa kecilnya Arvin hidup layaknya anak-anak biasa. Anak tunggal yang cerah ceria dan terlihat bahagia bermain dengan anjing peliharaannya. Arvin sempat mengalami bully di sekolah yang ditandai dengan mata kirinya yang lebam. Satu kejadian yang menyulut kemarahan terpendam ayahnya.
Ayah Arvin, Willard Russell (Willard) adalah mantan tentara yang baru kembali dari perang dan sempat mengalami kejadian yang menyerang mentalnya. Seperti saat dia menyaksikan seorang tentara dibunuh, dikuliti, lalu disalib. Salah satu kengerian yang lumayan ngilu untuk dilihat. Salut untuk tim kreatifnya.
Kisah hidup Arvin lalu berubah drastis saat dia melihat kekejaman Ayahnya, Willard, yang memukuli lelaki lain habis-habisan di depan matanya. Willard kemudian mengajarkan Arvin bahwa “seseorang akan mendapatkan ganjarannya di waktu yang tepat”. Satu ajaran yang membuat Arvin berpikir bahwa kekerasan dibenarkan untuk membalas mereka yang sudah berbuat jahat.
Selain kejadian di atas, kehidupan Arvin menjadi semakin muram saat ibunya, Charlotte, wafat karena kanker. Kematian Charlotte menyebabkan Willard depresi hingga akhirnya bunuh diri. Arvin pun yatim piatu dan pindah ke rumah neneknya, Emma. Beberapa tahun sebelum Arvin diasuh oleh Emma, neneknya itu sudah mengadopsi Lenora terlebih dahulu. Seorang gadis kecil yatim piatu yang secara otomatis menjadi adik tiri Arvin.
Di masa remajanya Arvin juga terlibat perkelahian sengit dengan remaja lain yang sudah atau sering melakukan perundungan atas Lenora. Dengan paham menemukan waktu yang tepat, keempat remaja itu pun dibantai habis-habisan oleh Arvin hingga mereka babak belur dan memohon ampun. Saya terhenyak melihat bagaimana ekspresi Arvin sewaktu dia dengan begitu semangat dan kejamnya menghujani semua remaja itu dengan pukulan yang keras, konsisten, terus-menerus, bagai seseorang yang kerasukan 10 jin. Kesetanan seperti tak ada hari esok.
Begitupun yang dia lakukan atas seorang pendeta bernama Preston. Pendeta ini sebenarnya adalah seorang pendeta pengganti dari satu-satunya gereja di kota Knockemstiff. Alih-alih menjadi panutan umatnya, Preston malah mempengaruhi Lenora hingga menghamilinya. Mendapati Lenora akhirnya bunuh diri, Arvin mencari tahu siapa yang melakukan hingga akhirnya menemukan Preston lalu membunuhnya. Di dalam gereja. Tempat dimana seharusnya kedamaian bisa dirasakan.
Karena tak ingin menjadi beban bagi neneknya dan seorang paman yang tinggal di rumah neneknya itu, Arvin memutuskan untuk kembali ke rumahnya sendiri di Knockemstiff. Dalam perjalanan inilah Arvin bertemu dengan Carl dan Sandy. Sepasang suami istri yang entah karena apa terus menerus melakukan pembunuhan atas orang yang tak bersalah yang baru mereka kenal. Korbannya ini biasanya dipancing untuk berhubungan intim dengan Sandy, difoto oleh Carl, baru kemudian dimutilasi.
Tapi kedua serial killer ini akhirnya apes saat ingin mencoba menghabisi Arvin. Mereka malah akhirnya dibantai tanpa ampun oleh Arvin. Mereka ditembak berulang-ulang, sampai terkapar, persis seperti saat mereka memperlakukan korban-korbannya.
Apes berikutnya adalah bahwa Sandy yang barusan dia bunuh adalah adik dari Sheriff Lee Bodecker (Lee). Seorang dirty cop yang penokohannya dibuat sangat menyebalkan dengan gaya yang sok jago. Dari penelusuran anak buahnya, Lee mendapatkan info bahwa Arvin lah si pembunuh adiknya. Lee pun mengejar Arvin hingga ke rumahnya. Terjadilah sengkarut tembak menembak diantara keduanya hingga akhirnya Lee tergeletak mati di halaman belakang rumah Arvin.
baca juga : move to heaven. menikmati harunya risalah hati, cinta dan kasih sayang yang sesungguhnya


Beberapa Peran dan Adegan Yang Begitu Mencekam
Selain Arvin yang menjadi sentral cerita di hampir sepanjang film, ada beberapa tokoh dengan rangkaian adegan yang juga begitu mencekam. Mereka berlaku keji dengan background cerita hidup dan alasan membunuh yang sangat muram, bagai tak masuk diakal.
Carl dan Sandy. Suami Istri si Pembunuh Berantai
Saya menempatkan Carl dan Sandy di deretan paling awal karena mereka ini kegilaannya sudah diluar nalar.
Korban-korban mereka ini adalah orang-orang yang berprasangka baik kepada mereka. Setelah diajak bercakap-cakap akrab sembari naik mobil, para korban dijebak dengan minuman keras lalu kemudian diajak berasik masyuk dengan Sandy. Dengan kondisi kesadaran yang hampir tak ada lagi, saat itulah Carl akan memotret setiap adegan proses pembunuhan para korban. Kejamnya lagi potongan-potongan tubuh para korban pun terekam dalam kamera Carl.
Suami istri ini kemudian mencetak foto-foto tersebut dan disimpan di rumah mereka. Meskipun setiap foto yang dicetak tampilannya diblur atau di flash back dengan speed motion, kebengisan cara Carl dan Sandy menghabisi nyawa itu, benar-benar seperti bukan kelakuan manusia. Apalagi dalam hampir setiap foto, tampak wajah Sandy yang begitu binal, duduk/menduduki atau sedang memegang korban yang sudah tidak bernyawa. Mengundang rasa benci maksimal dari setiap orang yang melihatnya. Plus tentu saja kengerian yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kta.
Seandainya yang seperti ini ada di dunia nyata, hukuman matipun rasanya terlalu gampang buat mereka.
Kakak lelaki Sandy, Lee, yang berprofesi sebagai polisi, sempat menemukan foto-foto dan mengambil salah satunya yang tertinggal di lantai untuk disimpan. Lee bahkan sempat mencari adiknya ini dan memintanya untuk menjauh dari Carl yang menjadi toxic dalam hidup Sandy. Tapi sayang disaat Lee berhasil menemukan Carl dan Sandy, keduanya sudah dalam keadaan tak bernyawa. Dibunuh dengan keji oleh Arvin yang statusnya, sebenarnya saat itu adalah membela diri.

Roy Lelaki Dengan Penyakit Jiwa
Roy adalah ayah dari Lenora dan suami dari Helen. Entah kerasukan apa, Roy terobses bahwa dia mampu membangkitkan/menghidupkan kembali orang yang mati. Dan itu ingin dia buktikan dengan istrinya.
Saat Lenora masih bayi dan dititipkan kepada neneknya, Emma, Roy mengajak istrinya Helen untuk jalan-jalan di hutan. Lalu dengan sebuah obeng besar dan tumpul, dia membunuh Helen. Leher Helen ditusuk secara tiba-tiba hingga darahpun muncrat dengan derasnya. Roy saat itu hanya menatap istrinya yang terkapar bersimbah darah lalu berteriak-teriak kepada Tuhan agar mengembalikan nyawa istrinya. Tak terlihat sedikitpun niatnya untuk menolong istrinya yang menggelepar-gelepar menghadapi sakratul maut.
Tentu saja ini hal yang mustahil terjadi.
Kekejaman Roy terbalas saat dia akhirnya bertemu dengan Carl dan Sandy. Akhirnya pun bisa ditebak dong. Roy pun mati mengenaskan ditangan sepasang pembunuh berantai yang bahkan jauh lebih kejam dari dirinya. Pembalasan yang rasanya setimpal atas apa yang sudah dia lakukan terhadap istrinya.
Tragis.
Preston Sang Pendeta Cabul
Beberapa kali saya nonton film bahkan cerita di dunia nyata, ada seorang pemuka agama yang melakukan hal yang tidak senonoh pada umatnya. Memperkosa adalah salah satu tindakan tak bermoral yang mereka lakukan. Untuk memuluskan apa yang mereka inginkan, yang mereka lakukan pada awalnya adalah mempengaruhi jiwa dan cara berpikir si (calon) korban. Korban yang pada dasarnya sedang mengalami cobaan berat dalam hidup dan dengan jiwa yang sedang labil.
Inilah yang terjadi dan dilakukan oleh Preston kepada Lenora.
Penokohan Preston ini luar biasa menurut saya. Tampilan yang slenge’an dan gaya bicaranya betul-betul mengesankan seorang bajingan yang berkedok pada status dan posisinya sebagai salah seorang yang dihormati dan disegani oleh banyak orang. Bahkan pada saat dia tahu bahwa Lenora hamil akibat perbuatannya, dia mengatakan bahwa Lenora sudah berhalusinasi dan menghina dirinya sebagai seorang pendeta. Termasuk tentu saja menyangkal bahwa dia sudah menggagahi Lenora.
Lenora pun tertekan dan mengakhiri hidupnya dengan gantung diri di rumahnya.
Arvin yang mendapati Lenora tergantung, berteriak histeris, terluka hatinya, hingga akhirnya memutuskan menggali sebab musabab kematian adik tirinya ini. Saat mengetahui bahwa Preston adalah orang yang bertanggungjawab, diapun menyiapkan amunisi untuk menghabisi pendeta cabul itu. Dan kejadian mencekam itu terjadi di dalam gereja.
Kegemasan saya atas Preston pun terjawab sudah. Nyatanya pendeta yang kebanyakan gaya dan sok perlente inipun akhirnya meregang nyawa dengan ditembaki oleh Arvin berkali-kali menggunakan pistol yang pernah diberikan Willard saat Arvin berulangtahun.
baca juga : mencabar keberanian lewat the divine fury

Kesan Saya Untuk The Devil All The Time
Puiihhh. Selama setiap adegan berlalu dengan kebrutalan tanpa ampun serta melihat kebengisan seorang Arvin mulai dari kecil hingga dia dewasa, jantung dan perasaan rasanya terbanting-banting, diobok-obok kesana-kemari sekencang mungkin. Apalagi kemudian dilengkapi dengan keganasan dan kekejaman yang diperankan oleh beberapa tokoh yang menjadi bagian dari film ini.
Berbagai mosaik peristiwa yang sepertinya hanya mampu dilakukan oleh setan dihadirkan non-stop selama film diputar. Semua tokoh rasanya jahat semua. Kecuali yah pemeran-pemeran pendamping yang hanya jadi cameo atau sedikit shot nya. Dan nyatanya tidak perlu visual devil itu ditunjukkan dengan wajah seram, mata merah, gigi bertaring dan sebagainya. Mereka yang berparas cantik, ganteng dan tanpa codet pun bisa jadi setan. Atau setidaknya punya bakat jadi setan. Alamak.
Untungnya film ini tidak berangkat dari kisah nyata. Hanya diangkat dari sebuah novel fiksi yang merupakan fantasi atau khayalan dari si penulis. Tapi tetap loh, meskipun fiksi, saya salut dengan daya khayalnya Donald Ray Pollock. Sebagai salah seorang penulis (yang masih junior), menurut pendapat pribadi saya, melahirkan imajinasi dengan berbagai gerbong karakter yang menimbulkan petaka yang bukan kelas teri, tentunya butuh semedi dan proses yang tidak sebentar.
Saya sempat membaca beberapa review untuk film ini. Sebagian besar pendapatnya sama. Kelam, depresi, suram dan teror. Nyatanya film yang dihadirkan oleh Netflix sejak 16 September 2020 ini sudah dan memang meninggalkan kesan ngeri bagi siapapun yang menyaksikannya.
Untuk saya pribadi, dua kata yang tepat untuk mewakili film ini adalah HORRIFYING MOVIE.

