
Beberapa kali ke Yogyakarta mengingatkan saya akan sate klathak dan tengkleng. Dua kuliner wajib yang juga adalah tujuan utama wisata kuliner di Yogyakarta. Dari sekian kali mencoba kedua jenis kuliner ini, saya merasakan kelezatan yang memanjakan lidah di Sate Pak Pong
Ada beberapa resto/warung sate klathak dan tengkleng yang beroperasi di Yogyakarta. Tapi mengingat bahwa saya akan berwisata ke arah Bantul dan sekitarnya, Mas Yudhi memilihkan Sate Pang Pong yang ada di Jl. Sultan Agung (timur stadion Bantul) sebagai pilihan yang tepat. Kawasan sejalur yang tentu saja efisien dan efektif dari segi waktu dan arah kunjungan.
Saya langsung meng-iya-kan karena sadar akan melewati sekitar 3-4 tujuan ke arah Bantul dan sekitarnya pada hari yang sama.
Tentang Yogyakarta : Menemukan Cantiknya Wastra di Batik Rumah Suryowijayan Yogyakarta

Perjalanan yang Menyenangkan
Di hari itu setidaknya ada 6 tempat yang wajib saya sambangi. Pertama ke Batik Rumah Suryowijayan di dalam kota. Kedua adalah mengunjungi Candi Borobudur (yang ini terpaksa dibatalkan karena salah strategi) lalu Keraton Candi Boko yang jaraknya cukup berdekatan. Ketiga adalah makan siang di Sate Pak Pong. Kemudian ke Pantai Parangtritis dan Obelix Hills/Seaview. Baru setelah itu ditutup dengan makan ramen di Koka Ramen yang berlokasi di dalam kota dan mendekat ke arah pulang.
Padat banget dengan jarak yang cukup berjauhan satu sama lain.
Yang pasti pas di jam makan siang atau paling telat pkl. 12:30 wib saya sudah harus di Sate Pak Pong supaya jadwal berikutnya tidak terganggu. Khususnya untuk kondisi kesibukan lalu lintas yang bisa saja memberikan pengaruh pada keseluruhan jadwal.
Tapi ternyata perjalanan kali itu sungguh menyenangkan. Jalanan begitu rapi dengan kesibukan seadanya serta pemandangan pedesaan yang menghibur hati. Sebagai orang yang tinggal di kawasan industri, apa yang saat lihat dalam perjalanan ke Sate Pak Pong di Bantul sudah menghadirkan pengalaman berlibur yang tak akan terlupakan.
Bersengaja tidak jajan dan ngemil terlebih dahulu/sepanjang perjalanan, ternyata jadi keputusan yang tepat. Karena ternyata sajian makan siang yang saya nikmati di Sate Pak Pong benar-benar wajib dinikmati semaksimal mungkin dengan lambung kosong.
Saya melihat tulisan Sate Pak Pong dari kejauhan. Dengan signage bertuliskan huruf putih dan background warna biru serta peletakannya yang cukup tinggi di fasad kedai, ternyata sangat menarik perhatian siapa pun yang lewat.
Saya dan si bungsu langsung bersemangat. Begitu pun dengan para cacing, warga kampung tengah, yang sudah sekian menit bergejolak karena kelaparan.
Mobil kami bersengaja parkir di sisi kiri, persis di seberang kedai karena akan melanjutkan perjalanan ke arah pantai Parangtritis. Ternyata di area parkir yang luas itu ada sebuah rumah joglo setengah terbuka (tak berdinding) yang bisa digunakan oleh para tamu untuk bersantap. Awalnya saya berpikir untuk makan di sana aja. Tapi mengingat udara yang cukup panas, si bungsu mengusulkan untuk ke kedai utama saja.
OK lah. Mari kita nyebrang.
Sembari menunggu jalanan aman untuk nyebrang, saya terpaku pada tulisan yang tadi terlihat dari kejauhan. Selain kalimat “Sate Pak Pong” juga tertulis “Sate Pak Pong Pusat” dan jargon “Tujuan Utama Wisata Kuliner di Yogyakarta”. Saya langsung menduga bahwa Sate Pak Pong ini pasti memiliki beberapa cabang sehingga merasa perlu menuliskan kata “Pusat” sebagai penanda.
Tentang Yogyakarta : Keraton Ratu Boko. Saat Keindahan Sejarah Terukir di Yogyakarta

Sajian yang Umami
Saat tepat berada di depan kedai, saya langsung melihat rangkaian kesibukan yang luar biasa. Dapur inti dan pusat koordinasi pelayanannya ternyata ada di bagian depan. Asap pembakaran pun terlihat meliuk-liuk dengan hebohnya.
Di area ini terlihat potongan daging, beberapa kambing yang digantung tanpa kulit, ratusan sate dengan tusukan besi yang terbuat dari jeruji sepeda. Asumsi saya sih dengan menggunakan besi seperti ini, aliran efek panas lebih mudah menjalar ke bagian dalam daging. Sate pun pastinya jadi cepat matang. Ada juga puluhan sate dengan tusukan bambu seperti yang biasa kita lihat.
Ada beberapa alat pemanggang/pembakar sate tradisional di bagian depan. Ada yang sedang memanggang tapi ada juga yang berisikan banyak arang yang dalam kondisi sudah terbakar dan siap digunakan.
Saya juga melihat counter kecil dan khusus melayani pemesanan otak-otak. Kesibukan di sini juga cukup luar biasa. Apalagi memiliki satu panggangan yang sepertinya hanya bisa menampung sekitar maksimum 30 pcs bungkusan otak-otak. Karena administrasinya terpisah dengan Sate Pak Pong, saya langsung memesan satu porsi otak-otak dan melakukan pembayaran terpisah.
Seorang petugas pelayanan tampak menyambut dan mengarahkan saya untuk masuk ke area makan. Sayangnya si mbak kurang banget senyumnya. Aahh saya mendadak seperti sedang diperintah dan mau dihukum. Tapi semoga catatan ini dibaca oleh kedai Sate Pak Pong ya. Biar ada perubahan. Karena menurut saya, keramahan petugas penyambut tamu, ada pengaruhnya pada kenyamanan bagi pengunjung. Dan gak ada ruginya juga kan ya kalau bersikap ramah plus murah senyum.
Baiklah mari kita lanjut.

Ruang makan mulai terlihat penuh saat saya datang. Ternyata di belakang saya, berderet tamu sekompi yang siap menempati meja-meja kayu yang disusun panjang-panjang. Saya bahkan tidak melihat area makan yang hadir dengan meja persegi panjang dan dengan empat kursi saja. Jadi sepertinya memang Sate Pak Pong menyiapkan diri untuk mereka yang datang sebatalion. Untuk tamu cuma berdua seperti saya, sepertinya harus rela bergabung dengan tamu yang lain.
Si Mbak yang tadi menyambut saya kemudian memberikan selembar kertas menu berukuran panjang dengan tulisan kecil-kecil. Persis seperti restoran kebanyakan yang memiliki daftar menu panjang tapi gak memiliki foto produk/makanan yang ditawarkan.
Saya dan si bungsu sempat berlama-lama terpaku pada kertas yang kami pegang. Tapi setelah berbagai pertimbangan, selain otak-otak seporsi tadi, kami akhirnya memesan sate klathak, tengkleng masing-masing seporsi. Lalu nasi putih dua piring, teh tawar, air putih, es jeruk, es kelapa muda. Satu yang saya contek dari meja sebelah adalah lalapan. Satu paket sayuran yang berisikan potongan tomat, timun, cabe merah, dan rajangan bawang merah yang wanginya semriwing betul. Isi lalapan ini banyak banget. Membumbung tinggi.
Saya mendadak gentar dan merasa tertantang sekaligus. Setidaknya lalapan ini bisa memenuhi kebutuhan serat karena mengkonsumsi sekian banyak daging yang sudah dipesan. Awalnya saya tidak yakin bisa menghabiskan potongan sayuran sebanyak itu tapi ternyata karena dihidangkan segar dan bersih, di piring lalapan itu akhirnya hanya tersisa potongan cabe.
Pertama yang saya coba adalah sate klathaknya. Sate berbahan dasar daging kambing muda dan hanya dibakar dengan bumbu garam ini, ternyata tidak pas dengan selera saya meskipun saya aslinya penggemar daging kambing muda. Tapi si bungsu malah ketagihan. Suka banget malah. Namun ternyata potongan-potongan besar daging kambing yang hanya dua tusuk itu, ternyata butuh perjuangan untuk dihabiskan sendiri.
Saya justru suka dengan tengklengnya. Kuahnya mantab. Meski makannya harus berjuang karena sajian tengkleng didominasi oleh tulang, saya tetap semangat bereksplorasi. Daging yang nyempil disana-sini tuh empuk dan menyelerakan betul. Beneran umami, menggugah selera, dan membuat saya gigih berjuang mendapatkan daging yang nyempil-nyempil itu.
Saat sepiring tengkleng itu tandas, pengennya sih mesan satu porsi lagi. Tapi karena si bungsu menolak untuk membantu menghabiskan, jadilah saya harus pasrah dengan seporsi aja dan bibir manyun gak berkesudahan.
Etapi, setelah tak pikir-pikir lagi, pendapat si bungsu bisa jadi betul. Manalah mungkin menghabiskan tengkleng di porsi kedua yang sesak sepiring itu sendirian. Tadi aja sudah ngos-ngosan. Apalagi ajaibnya saya bisa menghabiskan nasi yang banyak dan padat tadi. Padahal biasanya 1/2 porsi nasi aja saya sudah menyerah.
Begitulah ya kalau otak kita sudah dikontrol oleh nafsu. Apalagi lihat hidangan yang visualnya aja menyelerakan begitu.
Ada yang kurang? Gak ada sih. Tapi saya berharap piring buat tengkleng itu bisa lebih dibesarkan supaya tulang belulang kambing muda itu tidak mudah jatuh dan terkumpul dengan baik.
Berapa biaya yang saya harus keluarkan untuk semua pesanan? Yuk check these out.
Sate klathak 32K/porsi, sate biasa 32K/porsi (dipesan Mas Yudhi), tengkleng 38K/porsi, nasi putih 5K/porsi, lalapan 3K/piring, teh tawar 5K/gelas, air mineral 5K/botol, es jeruk 5K/gelas, es kelapa muda 20K/porsi (saya pesan dengan cangkang kelapanya), air putih 1K, dan ditambah dengan 10% VAT, total yang harus saya bayarkan adalah Rp171.600,00. Ini belum termasuk seporsi otak-otak seharga 25K.
Lumayan murah ya untuk makan bertiga. Apalagi dengan porsi yang banyak.

Kesan Pribadi Untuk Sate Pak Pong
Saya sepertinya sudah pernah makan sate klathak dan tengkleng di satu tempat di Yogyakarta. Tapi karena sudah, mungkin, sedekade yang lalu, saya sudah lupa makan di mana dan bagaimana rasanya. Jadi saat “bertemu kembali” dengan sate klathak dan tengkleng, saya seperti berselancar dengan memori yang hampir terhapus dari ingatan.
Kenangan ini kemudian bangkit hingga saya kembali pada rasa gurih manis yang bercampur sempurna. Kuah yang menurut saya mirip dengan hidangan tongseng ini kemudian merasuk dan menjadi salah satu kegemeran saya yang baru. Hanya saja jika tongseng dilengkapi dengan potongan-potongan sayur, tengkleng tidak ada sama sekali. Sayurnya dihidangkan terpisah sebagai lalapan yang bisa saya campurkan sendiri.
Saya ingin kembali ke Yogyakarta untuk mencoba tengkleng di restoran yang lain. Bahkan sudah mengantongi beberapa nama yang direferensikan oleh teman-teman food blogger. Beneran masih penasaran dengan sensasi gurih yang lama menetap di lidah dan memunculkan kesukaan yang terus melekat di kepala.
No wonder jika Sate Pak Pong menetapkan slogan “Tujuan Utama Wisata Kuliner di Yogyakarta” sebagai bagian yang menyatu dari jenama mereka. Nyatanya memang sate klathak dan tengkleng adalah kuliner asli dan menjadi kebangaan Yogyakarta.
Apalagi setelah mengetahui kenyataan bahwa Sate Pak Pong ini sudah beroperasi sejak 1960-an dan sudah diteruskan oleh generasi kedua. Generasi yang tentunya diharapkan bisa menjaga eksistensi bisnis. Bahkan sebisa mungkin semakin maju di tengah persaingan yang terus bergerak di sekeliling bisnis kuliner.

Tentang Yogyakarta : Obelix Hills. Destinasi Wisata dengan Pemandangan Alam yang Menawan di Yogyakarta

Tentang Yogyakarta : Lezatnya Ramen Otentik Jepang di Roka Ramen Yogyakarta

biasanya kalo makan tengkleng di jogja, aku selalu di tengkleng gajah mba… enak juga…
naah utk sate klathak, aku tuh malah belum cobain yg pak pong… mikirnya dulu krn ini udh terkenal bgt pasti rame hahahaha… kita malas antri… trus untungnya di tengkleng gajah ada jual sate klathak juga… aku ga tau ya apa besar dagingnya sama kayak yg di pak pong, biasa kamera kan suka menipu mata.. tapi yg di tengkleng gajah ini oke lah sate klathak dia.
agustus aku plan ke jogja sih ama temen2… mau deh mampir ke pak pong ini
Ah bener Fan. Sebulan dari kunjungan ke Sate Pak Pong ini, aku bersantap di Tengkleng Gajah. Rasanya berbeda memang. Kuah di TG lebih kental dan beneran bikin nagih. Aku juga “kerasukan” makan di sana hahaha. Apalagi porsinya bikin naik timbangan.
Satu lagi alasanku untuk rindu dan kembali ke Yogyakarta. Aku pernah menghabiskan masa liburan tahun baru di sana dan sama sekali belum mencoba sate klathak dan tengkleng.
Sebenarnya, awalnya karena aku tuh bukan orang yang demen makan daging kambing. Aku selalu pilih menu lain kalau memang ada menu lain.
Tapi, kayaknya aku butuh eksplorasi rasa daging kambing dah. Seenggaknya sekali saja di Yogyakarta. Hehehe
Wah kalau gitu harus balik lagi ke Yogya Mbak Yuni. Cobain sate klathak dan tengkleng di Sate Pak Pong. Daging kambingnya terolah dengan sempurna. Gak ada baru prengus sama sekali.
Sate klatak saya yess, Mbak. Apalagi lihat tusukannya yang panjang. seporsi sudah cukup. lalapan cukup tomat dan timun, karena saya ga suka bawang merah mentah. Kalau tengkleng saya baru sekali makan pas di Solo. Yang paling yess juga otak-otaknya hehehe.
Kalau saya kurang pas dengan sate klathak Mas. Lebih suka sate dengan bumbu kacang atau setidaknya dihidangkan dengan kecap manis dan potongan tomat, timun, dan wortel. Aiihh nulis ini sambil ngler sendiri hahahaha.
Nah iya, saat masih tinggal di Jogja, salah satu pelarian cepat saya adalah motoran random menyusuri jalanan kabupaten yang lengang. Rumah saya nggak di kota banget, jadi gampang aja ke jalan-jalan seperti itu. Suka juga menyusuri jalan-jalan kecil pemukiman di kota yang rapi dan tenang seperti di sekitaran SMP saya, SMPN 11 Yogyakarta.
Sate Klathak sebetulnya paling nikmat disantap saat malam. Dingin-dingin, kehangatannya merasuk ke dalam badan. Berarti kak Anne pecinta sate dengan bumbu kacang ya, yang rasanya lebih kaya.
Wooaaahh pernah tinggal di Yogya ya Gi. Aku sendiri pengen deh menikmati masa pensiun di Yogya sambil buka cafe library dan usaha buku kecil-kecilan. Doakan ya Gi.
Ahh bener juga ya. Makan sate tuh memang manteb banget kalau malam-malam. Apalagi pas hujan. Duh bisa nambah-nambah terus itu lauk dan nasinya. hahahahahaha.
Yup betul banget Gi. Saya lebih suka sate dengan bumbu kacang atau setidaknya kuah kecap dengan potongan tomat, timun, dan wortel.
Jadi pingin ke sini juga bareng anak
karena kalo hunting kulineran seperti ini biasanya bareng anak yang lebih paham jalan menuju ke sana
Terakhir kulineran bareng mereka di kawasan Bantul juga, keluar masuk jauh banget cuma untuk makan ayam bakar yang emang terkenal banget
Pulangnya beli sebotol kunyit asem ^^
Jajanan di Yogya juga memang nyenengin ya Mbak. Harganya juga ramah di kantong. Paling seneng memang makan tuh bareng keluarga. Rame-rame apalagi. Seru banget.
Kalau banyak pengunjungnya yang sedang makan di sana, bisa jadi pertanda bahwa makanannya enak-enak ya Bu. Apalagi satenya juga gereget nih buat dicoba dengan lalapannya yang makin menambah kesegaran. Cuma ini was-was nya kalau sampe nambah nasi ya Bu hahah
Hahahahaha. Kebetulan porsi nasinya memang sudah membunjung Fen. Buanyak buanget. Apalagi untuk saya yang makan nasinya sedikit. Tapi gara-gara kuah tengkleng yang nikmat, nasi sepiring amblas
Kenapa untuk satenya berasa ada yang kurang, Mbak?
Pertama kali saya cobain tengkleng di rumah sepupu yang mengadakan aqiqah. Saya langsung suka. Sayangnya di sini gak tau penjual tengkleng ada atau enggak. Kalau tongseng sih banyak. Jadi, kangen makan tengkleng. Harus ke Jogja kayaknya.
Sepertinya karena aku lebih prefer sate dengan bumbu kacang atau kuah kecap yang dilengkapi dengan potongan bawang, timun, dan wortel.
Aku juga lagi nyari nih penjual tengkleng di lingkungan Cikarang. Tapi belum nemu. Tongseng juga aku seneng tapi setelah nyoba tengkleng, keknya lebih prefer tengkleng. Sama kek Myra.
Dagingnya tebal dan besar ya Bu dalam setiap tusukan satenya. Cukup lama juga ya kuliner SAte Pak Pong ini, dari tahun 1960an, artinya cukup legendaris juga. Semoga saya ada rezeki bisa ke Yogya dan menikmati kuliner Sate Pak Pong ini
Betul banget Sar. Setusuk aja sepertinya bakal langsung kenyang. Apalagi daging kambingnya empuk banget deh.
Yup bener. Kebayang yah bisnis kulier sudah bertahan selama itu. Pasti banyak perjuangan untuk bertahan yang mereka lakukan. Termasuk 2-3 tahun saat pandemi dan pariwisata mati suri.
Memang klo ke Yogyakarta, nggak lengkap kalau nggak mampir ke Warung Sate Pak Pong ini
Porsinya mantep banget, rasanya endul
Nggak akan bosen merski dicoba berkali-kali
Setuju Mbak Di. Aaahh jadi kangen pengen balik ke Yogya.