Minggu yang sibuk dan awal bulan yang sarat kesan.
Awal Mei 2023 barusan betul-betul menjadi salah satu minggu terasik yang saya rasakan seumur hidup. Alhamdulillah, dari dua event yang wajib saya kunjungi dan telah direncanakan jauh-jauh hari itu, memberikan banyak sekali manfaat bagi saya. Baik sebagai wire jewelry designer maupun sebagai blogger dan penulis yang terus belajar, belajar dan belajar, demi menjadi lebih baik dari hari ke hari.
Pertama adalah bertemu dengan teman-teman baru, komunitas baru di dunia bisnis, yang beranjak dari dunia jewelry art yang saya geluti sejak belasan tahun yang lalu hingga saat ini. Satu langkah besar yang membawa jenama perhiasan saya, FIBI Jewelry, bergabung dengan salah satu BUMN dan Sarinah Pandu sebagai tuan rumah dan pelindung UKM. Sementara satunya lagi adalah komunitas menulis, Writerpreneur Club/Deka Amalia Writing Center, yang sudah menjadi salah satu wadah hobi saya di dunia menulis dibawah koordinasi dan bimbingan Ibu Deka Amalia.
Keduanya mengadakan acara dalam waktu yang berurutan.
Tiga hari pelatihan bertemakan branding, trademark, sales and marketing, serta personal and business improvement yang diorganisir oleh Sarinah Pandu. Kemudian bersambung dengan program sehari memperdalam ilmu tentang menulis artikel dengan premis menghadirkan dunia pendidikan sebagai inspirasi. Satu program istimewa yang diadakan di Kafe Sastra yang berada di salah satu gedung milik Balai Pustaka.
Kali ini izinkan saya mengurai cerita tentang pengalaman istimewa di Balai Pustaka bersama dengan rekan-rekan penulis. Sebuah Badan Usaha Milik Negara yang berperan sebagai lumbung literasi dan istana peradaban di Indonesia.
Baca Juga : Journey to the Greatest Ottoman. Jelajah Turki Negeri Daulah Utsmani
Baca Juga : Kreatif Merancang Novel Sejarah. Belajar Dari Tokoh Enrique di Buku Clavis Mundi
Pertemuan Perdana yang Sangat Mengesankan
Saya sudah lama menjadi bagian dari Writerpreneur Club/Deka Amalia Writing Centre. Mungkin sudah empat hingga lima tahun belakangan. Komunitas ini beranggotakan ratusan perempuan dengan berbagai profesi dan memiliki minat yang sama di dunia literasi. Belajar dan menulis bersama.
Ibu Deka Amalia, founder dan pembimbing komunitas ini seringkali membuka kelas dan atau writing project mengusung beberapa tema yang menarik. Dari komunitas ini saya sudah melahirkan beberapa buku antologi seperti Kisah Kisah Pandemi, Yang Membuatku Bahagia, Back To The 90’s, Serenade 2020, Bunga Rampai dan Ragam Cerita Bertabur Cinta.
Yang terakhir sedang berjalan dan saya ikuti adalah proyek menulis yang mengusung tema kisah inspiratif dari dunia pendidikan. Inilah yang kemudian membawa langkah saya menuju Balai Pustaka. Sebuah BUMN yang visi dan misinya adalah mengembangkan dan menjaga eksistensi dunia literasi tanah air.
Bekerjasama dengan Balai Pustaka sebagai publisher dari buku yang akan lahir ini, para penulis diajak untuk mendapatkan tambahan ilmu menulis kisah inspiratif dari Ibu Deka Amalia. Jika sebelumnya hanya mendapatkan suntikan ilmu tertulis lewat WAG (Whatsapp Group), kali ini Ibu Deka Amalia memberikan beberapa tips jitu dalam merancang tulisan yang menginspirasi.
Kunjungan ini dilengkapi dengan pertemuan eksklusif dengan Bapak Achmad Fachrodji, Direktur Utama Balai Pustaka, yang berkenan memberikan serangkaian kata sambutan serta tentu saja mengurai kesempatan kepada kami untuk mengenal Balai Pustaka lebih jauh. Beliau juga, dengan gaya bicara yang humoris dan sering banget berpantun, begitu hangat menyambut kami. Candaan yang menyenangkan sekaligus menghibur kami, para ibu, yang bersemangat menggali ilmu di dunia kepenulisan.
Lewat rangkaian kalimat perkenalan yang disampaikan oleh Bapak Achmad Fachrodji, saya dan teman-teman mendapatkan edukasi tentang keberadaan Balai Pustaka dan peranannya dalam mengembangkan dunia literasi di Indonesia. Balai Pustaka tak hanya menyentuh dunia tulis menulis dan percetakan buku. Sudah beberapa tahun belakangan Balai Pustaka telah melahirkan banyak produk sinema dengan bertabur bintang (aktor dan aktris) serta para pekerja seni di dunia layar lebar yang sudah memiliki nama populer dan berkibar di kancah cinematography tanah air dan internasional.
Bapak yang jago berpantun dan sudah memimpin Balai Pustaka selama enam tahun lebih ini. membuat suasana perkenalan kami semakin hidup serta cerah ceria. Sebuah pertemuan perdana yang sarat keakraban dan sangat mengesankan. Setidaknya bagi diri saya pribadi, yang baru kali ini menginjakkan kaki di Balai Pustaka yang berada di seputaran Matraman ini.
Baca Juga : Membidani Lahirnya Buku Antologi “Aku dan Masa Lalu” Bersama Pondok Antologi Penulis Indonesia
Tentang Balai Pustaka, Lumbung Literasi Tanah Air dan Istana Peradaban
Menelusur official website Balai Pustaka, balaipustaka.co.id, saya dibuat terkagum dengan rangkaian catatan sejarah, jejak langkah pendirian dan perkembangan fungsinya hingga bagaimana mereka menjadi (jauh) lebih baik di masa kini.
Resmi berdiri pada 22 September 1917, Balai Pustaka telah menerbitkan buku dan majalah dalam bahasa Melayu dan berbagai bahasa daerah seperti Jawa, Sunda, Madura, Batak, Aceh, Bugis dan Makassar.
Bahkan saat menyusur berbagai artefak lembaran tulisan di perpustakaan Balai Pustaka, saya menemukan sebuah buku kuno yang menggunakan huruf-huruf seperti aksara Korea (Hangeul). Tulisannya rapi seperti mesin ketik. Setiap huruf terangkai indah dalam lembaran kertas berwarna coklat yang mulai merapuh. Ada juga buku-buku kuno dan terbitan lama lainnya yang masih menggunakan ejaan Republik (tau kan yang tulisan c nya adalah tj, u dari oe, dll). Semua terjaga dengan baik dan tetap dilestarikan.
Buku jadoel, penyimpan sejarah itu, sebagian besar perekatnya mulai melepas. Tapi keindahan nilai aksara dan makna karyanya tetap menorehkan kesan yang teristimewa bagi perkembangan dunia literasi tanah air.
Dari apa yang saya baca melalui tautan di atas, para sastrawan dan tokoh pergerakan seperti Abdoel Moeis memanfaatkan keberadaan Balai Pustaka sebagai sarana untuk berkarya dan membangkitkan kesadaran kebangsaan hingga lahirnya Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Budayawan ternama seperti Marah Rusli, Muhammad Yamin, Idrus, Hamka hingga Sutan Takdir Alisjahbana juga menyebarkan pikiran kebangsaan melalui lembaga ini. Bahkan sebelum merdeka, Balai Pustaka telah membangun sekitar 2.800 Taman Bacaan Rakyat. Selanjutnya bahkan Balai Pustaka menjadi pilar sastra dan budaya bangsa yang melibatkan sosok yang sangat dihormati seperti H.B Jassin. Terus berkarya dan bergerak hingga memiliki andil penting dalam menyediakan buku-buku pendidikan.
Saya bahkan mencatat satu paragraf dengan makna yang tak terbilang kekuatan maknanya yaitu “Balai Pustaka juga melakukan transformasi yang meneguhkan kembali Balai Pustaka sebagai korporasi pelestrasi dan pengembang budaya. Sebuah posisi yang juga perperan membangun karakter bangsa. Disinilah kontribusi Balai Pustaka sebagai institusi WARISAN BUDAYA bangsa dalam mengantarkan Indonesia pada masa depan yang jaya.”
Dari foto yang saya tampilkan di atas dan membaca profil Balai Pustaka lewat tautan daring yang disediakan, kita akan semakin paham bahwa sederetan langkah Balai Pustaka telah memberikan berbagai makna tentang pentingnya keberadaan institusi yang berubah menjadi perusahaan negara (persero) pada 1963 ini.
Selesai merampungkan pelatihan singkat tentang program melahirkan buku inspirasi dunia pendidikan, salah seorang petugas Balai Pustaka mengajak kami berkeliling menikmati rangkaian fasilitas yang dimiliki oleh Balai Pustaka.
Inilah waktu yang sudah saya tunggu.
Beberapa spot yang kami datangi adalah beberapa ruang kerja komisaris, para pegawai, termasuk ruang kerja Bapak Achmad Fachrodji. Kami juga diberi kesempatan melihat ruang meeting internal, balai pertemuan dan kegiatan umum, perpustakaan dan beberapa sisi ruangan dengan dinding yang dipenuhi oleh poster-poster yang tersemat indah di dalam pigura akrilik.
Yang paling berkesan di hati saya adalah poster-poster tersebut. Sebuah karya digital apik, informatif dan mencerminkan wajah Balai Pustaka sebagai salah satu lumbung literasi yang sangat berharga. Lewat berbagai poster inilah, saya jadi lebih mengenal banyak tokoh nasional. Kalimat-kalimat indah dan berkualitas hasil pemikiran mereka terekam dengan baik. Begitupun dengan banyak kekayaan intelektual yang jejaknya terpatri indah tanpa bisa kita pungkiri.
Poster-poster ini tidak hanya menampilkan tokoh-tokoh perjuangan, sebelum dan sesudah Indonesia meraih kemerdekaan, tapi juga mengajak kita untuk melihat banyak seniman di dunia perfilman yang memberikan sumbangsih yang begitu besar pada tanah air. Mereka, menurut keterangan Bapak Achmad Fachrodji, adalah pekerja dunia kreatif yang sudah pernah menjalin kerjasama dengan Balai Pustaka.
Baca Juga : Menjadi Bagian Dari Sejarah Lahirnya Antologi “Beri Aku Cerita yang Tak Biasa”
Selain menampilkan banyak tokoh nasional dalam berbagai bentuk media cetak, di banyak dinding setiap bangunan, saya melihat dan membaca serangkaian pantun yang mencerahkan hati. Banyak diantaranya bikin saya terpaku pada kekaguman bahkan ada juga yang menjerat saya pada tumpukan senyuman, serta tentu saja rasa salut akan nilai seni kreatifitas yang tanpa batas. Saya merasakan seperti berada di sebuah “sarang besar”, rumah dimana seharusnya saya berteduh untuk berkarya lalu melahirkan banyak karya tulis demi keabadian.
“SCRIPTA MANEN, VERBA VOLANT. Yang tertulis akan tetap abadi. Yang terucap akan berlalu tertiup angin.” (unknown)
Oia, satu hal penting yang patut kita ketahui tentang Balai Pustaka adalah bahwa BUMN ini juga melaksanakan berbagai bisnis yang terhubung langsung dengan masyarakat.
Pertama tentu saja adalah di dunia penerbitan buku. Berbagai genre yang pernah dilahirkan adalah sastra, cerita anak, buku pengayaan, dan yang berhubungan dengan korporasi. Semua jejak penerbitan ini bisa saya lihat di perpustakaan. Bahkan ada banyak buku lama yang kemudian direcover atau dibuatkan kembali cover nya kemudian dicetak atau diproduksi kembali. Beberapa ditawarkan dalam bentuk bundling dengan harga khusus.
Kedua adalah melingkupi dunia percetakan atau jasa cetak. Seperti buku (yang berhubungan dengan hal di atas), kalender, poster cetak flexy korea dan poster frame akrilik yang contohnya bisa dilihat di banyak dinding gedung. Juga ada posterize wajah yang menampilkan tokoh berpengaruh di Indonesia. Inilah yang tadi saya nikmati sepanjang berkeliling menelusur banyak tempat di dalam Balai Pustaka. Kita bisa loh memesan kepada Balai Pustaka untuk bikin poster-poster keren seperti itu.
Area bisnis yang ketiga adalah tentang manajemen literasi. Di sisi inilah Balai Pustaka menghadirkan dirinya sebagai lumbung literasi dan peran aktif mereka sebagai institusi atau lembaga yang peduli pada dunia membaca dan menulis. Lewat sokongan Balai Pustaka, kita bisa menikmati berbagai taman bacaan. Satu aktivitas yang tentu saja bisa menggandeng berbagai korporasi lewat kegiatan CSR (Corporate Social Responsibilities) mereka.
Bisnis berikutnya meliputi dunia multimedia. Ada yang berhubungan dengan sinetron, layar lebar (film), animasi, produk video dan graphic design. Saat menulis ini saya kemudian teringat akan informasi yang disampaikan oleh Bapak Achmad Fachrodji tentang lomba berpantun dalam bentuk video. Lomba ini diikuti oleh ratusan peserta dan dimenangkan oleh sekelompok peserta yang menampilkan karakter Malin Kundang dari Sumatera Barat. Video tersebut diputar untuk kami saksikan. Saya mengakui bahwa video ini pantas untuk menang. Selain rangkaian pantun yang menarik, para tokoh di dalam video sangat ekspresif dan menggunakan pakaian adat Sumatera Barat. Sudut pengambilan gambarnya apik dan indah untuk dipandang serta sangat menghibur.
Titik bisnis terakhir adalah MICE (Meetings, Incentives, Conventions and Exhibitions). Balai Pustaka bisa menjadi host atau event organizer (penyelenggara) dari berbagai kegiatan pertemuan serta pameran atau kegiatan khusus dengan jumlah masa yang banyak atau berlimpah.
Baca Juga : “Kisah Kisah Pandemi” Buku Antologi Inspiratif yang Bertabur Makna
Writerpreneur Club/Deka Amalia Writing Center dan Balai Pustaka
Ketika membaca pengumuman dari Ibu Deka Amalia tentang proyek menulis yang akan melibatkan Balai Pustaka sebagai rekanan, hati saya langsung tergerak. Satu pengetahuan baru kembali saya dapatkan. Ternyata di tengah perkembangan era digital, ada lembaga sebesar Balai Pustaka yang berkenan mengayomi dan bekerjasama dengan komunitas para penulis seperti Writerpreneur Club/Deka Amalia Writing Center ini.
Kelas inspirasi tentang dunia pendidikan yang menjadi topik bahasan buku antologi kali ini, sesuai rencana awalnya, akan digarap dalam beberapa sesi penyampaian materi. Beberapa kali berupa diskusi lewat WAG dan satu kali pertemuan langsung di Balai Pustaka. Seluruh rangkaian sesi belajar ini ditutup dengan pengumpulan naskah untuk diedit hingga tahap akhir oleh Ibu Deka Amalia dan tim Balai Pustaka.
Acara di Balai Pustaka inil menjadi kesempatan perdana saya bertemu langsung beberapa rekan penulis yang tergabung di Writerpreneur Club/Deka Amalia Writing Center. Setelah bertahun-tahun hanya saling menyapa lewat dunia maya dan melewatkan beberapa acara temu karena jadwal yang bertabrakan.
Rasanya? Tentu saja exciting.
Keberadaan saya di komunitas ini kemudian menjadi terasa lengkap. Semua ribuan kalimat yang sudah dibagi di WAG menjadi sempurna saat saya bersalaman, saling menatap wajah dan tentu saja bertukar cerita secara langsung. Pun demikian dengan rasa “guru bagai sahabat lama” yang saya temukan saat duduk berdampingan, ngobrol ngalor ngidul dengan Ibu Deka Amalia. Salah seorang panutan dalam karir saya di dunia kepenulisan.
Acara yang diadakan di Kafe Sastra milik Balai Pustaka ini sesungguhnya sederhana saja. Menyempurnakan materi pembelajaran yang sudah dibagi lewat WAG.
Saya sendiri, meski bisa mempraktekkan self-study dengan baik, mendengarkan materi yang disampaikan secara langsung oleh guru dalam sebuah kelas, akan sangat membantu memahami materi lebih dalam lagi.
To complete the best level of understanding.
Apalagi kemudian pertemuan ini dilengkapi dengan sesi latihan menulis secara langsung.
Saya yang awalnya gamang akan materi/obyek yang akan saya bahas, akhirnya memutuskan untuk kembali menulis tentang Puta Dino, tenun Tidore yang sempat punah ratusan tahun dan tokoh Anitawati, diaspora Tidore, yang telah berhasil melewati langkah-langkah bersejarah dalam rangka revitalisasi Puta Dino. Saya yakin bahwa sisi budaya dan cerita keberhasilan “melahirkan kembali” Puta Dino mengandung banyak makna pendidikan yang patut untuk dibahas dan diperkenalkan kepada publik.
Kafe Sastra, tempat dimana acara kami berlangsung, cukup akomodatif dan menarik. Cocok banget untuk berbagai event dengan tamu terbatas. Berada di satu gedung khusus di halaman depan dan dekat dengan pintu masuk, Kafe Sastra tidak akan membuat para tetamu bingung atau tersesat.
Area seluas kira-kira 250an m2 ini, menyediakan sebuah panggung kecil, meja-meja yang nyaman untuk bekerja, kursi-kursi yang cukup nyaman, rak-rak dan wadah-wadah buku yang bisa kita beli, juga sound system serta TV layar datar yang fungsional. Pencahayaan ruangan juga sangat nyaman. Dinding kaca di hampir setiap sisi, nyatanya sangat membantu mengurangi penggunaan lampu dalam skala besar. Cukup juga untuk penglihatan apalagi jika cuaca terang benderang seperti saat saya datang. Penghematan listrik sekaligus membuat kita menyesuaikan diri dengan pencahayaan alam.
Sesuai dengan namanya, di salah satu sudut ruangan, ada sebuah kafe kecil yang bisa memenuhi kebutuhan makan dan minum kita. Sembari belajar, kita bisa menyantap makanan kecil, minuman hangat dan minuman dingin. Sayangnya saat saya berada di sini, salah satu sajian berat (nasi goreng) untuk makan siang sedang kosong. Jadilah saya harus cukup puas dengan sepiring kentang goreng sebagai pengganjal perut.
Satu hal terpatri indah di dalam benak saya adalah bahwa nuansa Kafe Sastra sebagai bagian dari lumbung literasi dan bagian dari keluarga besar Balai Pustaka sudah terekam begitu apik. Semangat untuk terus berkarya bahkan terpacu dengan hadirnya beberapa poster penulis hebat tanah air yang terus dikenang hingga kini. Disamping profile/wajah dari sang penulis, dituliskan juga kisah singkat tentang salah satu karya tulis atau sekilas tentang pemikiran yang membuka tabir dibalik kesuksesan mereka.
Bisakah saya dan semua rekan penulis yang hadir bisa menjejak kesuksesan yang sama?
Tentu saja bisa dong. Diiringi dengan konsistensi dan semangat untuk menjadi penulis yang lebih baik, apapun bisa terjadi. Siapa tahu loh diantara kami akan menjadi penulis hebat dengan sederetan karya yang berkualitas.
Kereen abis tulisan bu Ani Cantik, Sudah menjadi penulis hebat 👍
MashaAllah. Terimakasih untuk complimentnya Bu Neni. Ibu juga penulis yang hebat
Seneng ya, bu..
kumpul bareng orang-orang yang satu frekwensi.
Saling dukung, saling memberikan energi positif.
Apalagi kalau menghadiri acara yang ada hasil karya kita disana.
Masyaallaah senangnya tak terkira.
Btw, aksara Makasar hampir sama dengan aksara Batak Simalungun. Saya jadi keinget tugas anak saya, bahasa Simalungun yang mirip banget
Bener banget Suci. Berada di tengah-tengah teman yang sefrekuensi tuh bikin kita tambah semangat. Tambah bisa memaknai apa yang sedang kita kerjakan atau kita usahakan.
Waaahhh amazing. Saya sendiri belum pernah melihat aksara Batak Simalungun. Kapan-kapan mau browsing ah. Siapa tahu di Balai Pustaka ada salah satu contohnya. Karena waktu itu ada juga aksara dari daerah-daerah lain di Indonesia.
Masya Allah asiknya berkunjung langsung ke Balai Pustaka.
Apalagi ngumpul bareng dengan rekan² sejawat ya Bu.
Daku tahunya Balai Pustaka itu penerbit, dan belum pernah singgah ke gedungnya.
Sukses selalu ya buat Bu Annie dkk penulis lainnya
Aku juga baru tahu banyak tentang Balai Pustaka saat berkunjung kesini. Dan itu benar-benar adalah kunjungan pertama. Ternyata loh, Balai Pustaka itu bisnisnya luas sekali. Tempatnya juga menarik dan menyenangkan. Bener-bener bisa jadi “rumah” bagi mereka yang bekerja di bidang kepenulisan.
kebetulan banget tadi siang nyimak kontennya Prof Rhenald Kasali tentang tutupnya toko Gunung Agung
Karena banyak yang kawatir, internet (dengan e-booknya) akan melindas buku cetak
Ternyata gak mungkin, terlebih kita punya jejak literasi yang membanggakan dalam wujud Balai Pustaka
Jadi pingin buka buku terbitan Balai Pustaka lagi dan nikmatin diksi-diksinya yang “unik”
Itu adalah salah satu isu yang juga diangkat saat Dirut Balai Pustaka memberikan sambutan. Buku cetak diharapkan masih tetap “hidup” dan mengisi sendi-sendi keilmuan dalam wujud cetak. Apalagi BP kaya dengan karya-karya sastra yang melegenda.
Kak annie, dah kubaca tulisannya, emang keren banget…suka sama tulisan2 kak Annie….btw, teman2 penulis kak Annie juga banyak yang antusias ya mendukung gerakan literasi, karena bagi saya ini penting untuk menggugah semangat generasi muda untuk mau berkontribusi dalam tulisan, membaca, dan lainnya.
Inilah salah satu kewajiban kita Mas Wahid. Tetap menulis agar banyak hal nantinya bisa menjadi referensi generasi mendatang. Menjadi materi baca yang tetap lestari. Bisa tetap bertahan seiring dengan kemajuan teknologi. Semoga langkah-langkah kita tetap diikuti dan berkembang ya Mas.
Mengingat Balai Pustaka sudah berdiri sangat lama, yakni sejak 1917, maka perlu sekali untuk mempertahankan institusi ini. Kalau berorientasi bisnis, mungkin belum mampu tetapi tetap harus dipertahankan dan bahkan dikembangkan karena ada nilai historis dan ideologis di sana.
Well-said Mas Adi. Saya setuju banget. Jikapun menjalankan bisnis, tentunya masih sangat terhubung dengan dunia literasi dan pelestariannya. Bagus juga untuk side-income nya institusi agar tidak melulu bergantung pada APBN. Saya yakin BP bisa melakukan itu dengan baik.
Asyik banget suasana kantor Balai pustaka ini mbak.
Saya tahunya balai pustaka itu penerbit buku. Ternyata ini milik negara, dan lini bisnisnya bukan cuma urusan penerbitan buku saja.
Di tengah gempuran ebook, emang kalau cuma mengandalkan penerbitan, bisa-bisa kolaps. Duh ngomongin kolaps jadi ingat toko buku Gunung Agung. Saya dulu kalau ada tugas ke Jakarta, pasti menyempatkan diri kabur sebentar ke kawasan kwitang ini
Duh bener Mbak Nanik. Ngomongin Gunung Agung kok saya jadi sedih ya. Padahal sudah eksis selama 70 tahun.
Salah satu alasan saya untuk terus melahirkan buku cetak adalah masalah keabadian tulisan Mbak Nanik. Meski pelan-pelan fungsinya tergantikan dengan e-book, preferensi saya tetap pada buku yang bisa dipegang secara fisik. Ada sensasi “kehangatan” dan kenyamanan saat membaca dengan buku yang bisa dipegang langsung.
Balai Pustaka, seperti namanya menyimpan banyak hal berkaitan dengan literasi ya, Mbak. Apalagi bisa menimba ilmu di tempat seperti ini, kesempatan banget mbak. Ilmuanya ga main-main juga, tentang branding, trademark, sales and marketing, serta personal and business improvement. Daging semua nih
MashaAllah~
Gak kebayang merawat buku yang usianya ratusan tahun dengan baik seperti Balai Pustaka ini. Rasanya penasaran.. Tapi apakah ada aturan anak batita dilarang masuk, kak Annie?
Soalnya melihat banyaknya benda-benda antik nan bersejarah.
Di perpustakaan ada area khusus anak-anak. Banyak koleksi buku-buku anak-anak dan tempat bermain juga.
Wah seru acaranya, apalagi bareng semua penulis yang memang punya sudut pandang yang sama dalam kepenulisan, sukses ya mbak.
Terimakasih untuk rapid supportnya Mbak Emma.
Balai Pustaka ini yang derah SENEN ya bu Annie? kyknya sering liwat kalau ke daerah situ.tapi saya belum pernah masuk ke dalamnya, kepo juga sih hehe .Gedungnya berarti sdh lama ya..terus koleksi bukunya juga pasti banyak ..sampai ada yang menguning gitu..sukses ya bu Annie buat kepenulisannya
Bener banget Yu. Di seputaran Senen – Kwitang. Jalannya agak masuk ke dalam. Gedungnya sudah lama memang tapi terawat dengan baik. Banyak pohon dan bunga-bunga yang bikin suasana jadi adem. Koleksi buku-bukunya memang mengingatkan kita akan karya sastra masa lalu, saat Indonesia telah merdeka.